Sebagai negara kepulauan yang luasan lautnya 75% dari luas wilayah negara, maka laut dan isinya sudah selayaknya menduduki posisi dan peran penting di negeri ini. Dari segi historis, berbagai Kerajaan besar yang tersebar di pelosok negeri umumnya berada di wilayah pesisir, dan menguasai lautan sebagai salah satu cara mempertahankan kedaulatannya.
Adalah Belanda yang kemudian
melakukan politik pecah belah dan kemudian menggiring kita ke darat, sehingga
laut dilupakan. Bahkan di berbagai tempat, laut kemudian disakralkan melalui
berbagai mitos sedemikian rupa sehingga dijauhi. Akibatnya masih kita rasakan
sampai sekarang. Meskipun negara ini telah dinyatakan secara yuridis sebagai
negara kepulauan (UUD NKRI 1945 Ps 45A), orientasi pembangunan masih terasa belum
memihak ke kelautan.
Perikanan sebagai salah satu
hasil laut, telah menjadi tumpuan kehidupan masyarakat pesisir selama
berabad-abad. Pada tahun 2013 tercatat sekitar 2,84 juta nelayan menggantungkan
hidupnya dari laut dan perairan umum daratan. Bila ditambahkan dengan
pembudidaya ikan (5,78 juta), pengolah dan pemasar, serta pekerja terkait maka perikanan
menyerap 12,3 juta tenaga kerja. Dengan asumsi satu tenaga kerja menanggung 2
jiwa, maka lebih dari 36,5 juta jiwa bergantung pada perikanan.
Produksi perikanan (tangkap
dan budidaya) pada tahun 2013 tercatat sebesar 11,4 juta ton ikan (tidak termasuk rumput
laut) dengan nilai PDB lebih dari Rp 255 triliun. Sedangkan sebagai sumber
devisa, perikanan menunjukkan neraca perdagangan yang positif yaitu USD 3,6
milyar pada tahun yang sama. Besaran angka-angka ini tentu tidak bisa
diremehkan.
Ikan dalam ketahanan pangan
Bagi insan perikanan,
Undang-undang nomer 18 tahun 2012 tentang Pangan memberikan arti yang sangat
penting. Di dalam Undang-undang ini, secara jelas disebutkan bahwa produk
hayati perikanan dan perairan adalah bagian dari Pangan. Sedangkan pelaku
perikanan, yaitu Nelayan dan Pembudidaya ikan juga telah diakui mempunyai peran
penting dan sudah tentu disejajarkan dengan pelaku produksi pangan lainnya.
Dengan demikian, kebijakan
pangan ke depan dipastikan akan menyinggung tentang ikan dan para pelakunya
mendapat perhatian yang sama dengan petani.
Ini merupakan kemajuan besar bila dibandingkan dengan Undang-undang
tentang Pangan sebelumnya (UU nomor 7 tahun 1996). Rekan-rekan di DPR, terutama
Komisi IV perlu mendapat apresiasi yang tinggi.
Sayangnya dalam peringatan Hari
Kebangkitan Teknologi Nasional ke 19 tahun ini yang mengambil tema Inovasi Pangan, Energi dan Air untuk Daya
Saing Bangsa, peran ikan sebagai bahan pangan masih terasa sangat
diabaikan. Inovasi teknologi di bidang perikanan yang menghasilkan kenaikan
produksi yang luar biasa, terutama perikanan budidaya, dalam beberapa tahun
terakhir tidak tercatat, bahkan tidak disinggung sama sekali dalam pidato
Menteri Riset dan Teknologi.
Sebagai bahan pangan, ikan
terbukti memberikan sumbangan yang tidak kecil dari sisi kuantitas maupun
manfaatnya. Tingkat konsumi ikan secara nasional pada tahun lalu berada pada
kisaran 35 kg/kap/tahun. Angka ini memang masih rendah bila dibandingkan dengan
negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Thailand, dan perlu terus
dinaikkan (ditargetkan menjadi 50kg/kap/tahun). Meskipun demikian, di balik
angka ini sebenarnya ada data lain yang cukup menarik.
Sumber protein kita umumnya
berasal dari daging, ikan dan telur (hewani) serta kacang-kacangan, khususnya
kedele (nabati). Data dari Susenas (sampai dengan Maret 2012) menunjukkan bahwa
secara konsisten ikan merupakan penyumbang protein utama bagi penduduk
Indonesia, berkisar antara 43-47%. Sedangkan bila dihitung terhadap protein
hewani, maka kontribusi ikan sebesar 54-60%.
Kandungan nilai gizi ikan (terutama protein dan asam lemak omega 3) telah
diakui oleh para ahli di dunia. Berbagai
studi menunjukkan bahwa kecerdasan anak semakin tinggi bila ibunya
banyak mengonsumsi ikan selama masa kehamilan. Selain itu kita telah sering
mendengar bahwa pada bangsa yang banyak mengonsumsi ikan (Jepang, Eskimo)
prevalensi terhadap hipertensi dan penyakit jantung relatif rendah. Ikan adalah
makanan yang sehat dan menyehatkan.
UU no 18/2012 mendefinisikan Pangan
Pokok sebagai Pangan yang diperuntukkan sebagai makanan utama sehari-hari
sesuai dengan potensi sumberdaya dan kearifan lokal. Definisi ini harus
segera disosialisasikan secara terus menerus sehingga tidak ada lagi perbedaan
pemahaman yang sangat sektoral. Sebagai contoh, di dalam Rencana Aksi Nasional
Pangan dan Gizi 2011-2015 yang disusun oleh Bappenas, Pangan Pokok masih
didefinisikan sebagai Pangan sumber
karbohridrat yang sering dikonsumsi atau dikonsumsi secara teratur sebagai
makanan utama, selingan, sebagai sarapan, atau sebagai makanan pembuka atau
penutup. Dengan definisi ini, kalau kita makan tiga kali sehari dengan kerupuk sebagai pendamping, maka sangat boleh
jadi kerupuk adalah Pangan Pokok kita.
Melihat angka-angka di atas dan mencermati
definisi Pangan Pokok dalam UU no 18/2012 maka sudah selayaknya ikan dianggap
sebagai Pangan Pokok. Namun sangat disayangkan ketika kita berbicara masalah
ketahanan pangan, ikan masih belum mendapat porsi sewajarnya dalam berbagai
forum. Ketahanan pangan masih berpusat di sekitar sumber karbohidrat, dan
terkadang daging ketika permintaan sangat tinggi seperti pada masa-masa hari
raya keagamaan tertentu.
Fakta lain menunjukkan bahwa
harga ikan per kilogramnya jauh lebih murah bila dibandingkan dengan daging,
bahkan untuk ikan tertentu masih lebih
rendah daripada telur. Tentu ini tidak berlaku bagi ikan (misalnya tuna) untuk sashimi yang memang bukan makanan rakyat
kebanyakan. Jadi, ketika kita diributkan oleh meroketnya harga daging sampai
mendekati Rp 100rb per kilogram, maka sebenarnya tersedia bahan protein yang
jauh lebih murah harganya dengan kandungan gizi setara bahkan lebih baik dalam
beberapa hal, yaitu ikan. Sayanganya tidak semua mengetahui hal ini dan masih
saja bertumpu pada daging sapi yang justru menggerus devisa kita untuk mengimpornya.
Masih ada kendala
Meskipun demikian, diakui
bahwa penyediaan ikan di dalam negeri bukannya tanpa masalah. Perbedaan musim
ikan dan masa tanam telah menyebabkan disparitas antara sentra produksi dan
konsumen (termasuk industri pengolahan). Meskipun hal ini tidak pernah
menyebabkan gejolak harga yang bikin hati ibu rumah tangga kebat-kebit, namun
tetap harus diselesaikan terutama untuk daerah yang sangat memerlukan ikan sebagai
bagian dari kearifan lokal atau keagamaan. Menjelang hari raya Imlek misalnya,
pemintaan akan ikan bandeng melonjak tinggi.
Sebaliknya, pada musim ikan,
harga menjadi sangat murah bahkan ikan terkadang tidak dihargai dan terbuang
percuma. Selain itu, ikan merupakan
bahan pangan yang sangat mudah busuk (highly
perishable), karena itu dibutuhkan penanganan yang tepat dan segera. Maka pengembangan
sistem logistik ikan nasional, termasuk penyediaan gudang pendingin dan sarana
transportasi, menjadi penting.
Masalah keamanan konsumsi ikan
juga sering menarik perhatian. Sebagaimana terjadi di bahan pangan lainnya, mengatasi
penggunaan bahan tambahan makanan ilegal (formalin, boraks) masih menjadi
pekerjaan rumah. Selain itu, beberapa negara importir masih mewaspadai ikan kita
yang diduga mengandung cemaran logam berat, utamanya merkuri dan timbal, baik
dari lokasi penangkapan maupun budidaya.
Hal-hal di atas menghajatkan
adanya Manajemen Rantai Pasok Hasil Perikanan (MRP-HP) sejalan dengan pasal 48
ayat 1a UU no 18/2012 yang mengamanahkan pengembangan Sistem Distribusi Pangan.
Pengembangan MRP-HP ini akan mencakup penanganan arus barang (dalam hal ini
ikan), arus informasi dan arus jasa (uang) dari titik paling awal sampai ke
titik paling akhir dan sebaliknya, dalam satu kesisteman. Sistem Logistik Ikan
Nasional (SLIN) dengan demikian menjadi komponen penting di dalam MRP-HP.
Secara keseluruhan, tulisan
ini mengajak pembaca dan Lembaga Pangan yang akan dibentuk (amanah UU 18/2012
Pasal 126) untuk mengubah paradigma berpikir tentang pangan. Rakyat kita tidak
hanya membutuhkan beras, namun juga protein sebagai bahan pangan. Ikan adalah
Pangan Pokok dan mari kita rumat bersama untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan dengan
berdasarkan pada Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan.
--0--