I
SIAPA TIDAK KENAL IKAN ASIN
Kita umumnya mengatakan bahwa beras merupakan makanan pokok bangsa Indonesia. Ungkapan ini sebenarnya tidak tepat betul, mengingat saudara-saudara kita di bagian timur banyak yang menyantap sagu, jagung atau ubi/ketela sebagai makanan pokok. Lantas adakah hidangan lain yang lebih pantas disebut sebagai menu nasional? Tidak jauh-jauh, ternyata ikan asin lebih tepat menyandang julukan itu, bukan beras. Kenapa?
Alasannya sederhana saja: Ikan asin dikenal dan dinikmati hampir di seluruh pelosok negeri ini. Tidak seperti beras yang harganya bisa sangat mahal atau bisa langka di tempat-tempat terpencil, ikan asin cenderung lebih murah dan tersedia hampir sepanjang tahun. Banyak menu masakan tradisional yang menggunakan ikan asin sebagai bahan utama.
Di negara-negara Asia, ikan asin (kering) juga menduduki peran penting dalam menu keseharian penduduknya. Tidak heran bila seorang pakar asing menyebutkan bahwa ikan asin (kering) adalah ”Asian Staple Food” atau ”Makanan Utama Bangsa Asia”. Di Afrika pun tidak berbeda. Jangan-jangan sebutan ini bisa kita perluas sampai Afrika, menjadi ’Afro-asian staple food”. Keberadaan etnis Asia di negara-negara barat, termasuk Australia, telah memicu importasi ikan asin ke sana.
Dari sisi produksi, lebih dari 20% hasil tangkapan kita (5 juta ton per tahun) ternyata diolah menjadi ikan asin. Ini belum ditambah dengan ikan pindang, yang pada dasarnya adalah saudara kembar ikan asin. Satu bukti lagi bahwa ikan asin (kering) memang pantas disebut sebagai menu nasional kita. Salah satu seniman terkemuka Indonesia menggunakan ikan asin sebagai judul karyanya, yaitu: Opera Ikan Asin. Ikan asin memang bukan barang asing bagi kita semua!
APA ITU IKAN ASIN
Bisa saja pertanyaan ini dijawab dengan singkat: Ikan yang diasini. Namun untuk mengenal lebih jauh, jawabannya tidak sesederhana itu, meskipun tidak pula harus menjadi sangat ilmiah uraiannya.
Ikan biasanya diasinkan dengan menambahkan garam melalui tiga cara yaitu penggaraman kering, penggaraman basah dan campuran antara keduanya. Penggaraman kering dilakukan dengan ”mengubur” ikan dalam butiran garam di suatu wadah, dan airnya dibuang selama proses, sedangkan cara kedua dilakukan dengan merendam ikan dalam larutan garam. Cara ketiga merupakan kombinasi dari keduanya, yaitu dengan merendam ikan dalam larutan garam yang dijaga kejenuhannya dengan selalu menambahkan garam baru. Yang terakhir ini yang sering dipraktekkan. Lama penggaraman bervariasi, dari yang cukup hanya sekitar 5-10 menit (pembuatan teri nasi asin) sampai 12 jam (untuk ikan ukuran besar), bahkan sampai lebih dari 24 jam (untuk jambal roti).
Ikan yang sudah diasinkan kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Bila cuaca cukup baik, pengeringan akan berlangsung selama 1-2 hari. Untuk ikan-ikan kecil, pengeringan hanya memerlukan waktu kurang dari 5 jam. Sayang, pengeringan ikan asin masih banyak yang dilakukan di tempat-tempat yang tidak terlindung dari gangguan lalat dan serangga lainnya, terlalu dekat dengan permukaan tanah. Dengan kata lain, belum semuanya memperhatikan prinsip-prinsip sanitasi dan higiena. Pemerintah banyak membuat sentra-sentra pengolahan ikan asin untuk mengatasi hal-hal tersebut. Salah satunya yang cukup besar adalah di Muara Angke, Jakarta Utara.
SIAPA PALING SUKA?
Benar bahwa ikan asin merupakan menu yang tidak asing lagi di meja kita. Namun menarik untuk ditanyakan, siapa yang paling banyak mengkonsumsinya. Dalam suatu penelitian yang dikerjakan oleh Singgih Wibowo dkk (peneliti Badan Riset Kelautan dan Perikanan), terungkap bahwa ternyata sebagian besar produksi ikan asin di Indonesia, mengalir ke Jawa Barat (termasuk Banten). Lantas apakah semuanya dikonsumsi di Jawa Barat. Ternyata tidak juga. Ada pula sebagian yang mengalir lagi ke luar pulau Jawa, dan tentu, Jakarta.
Kalau kita melihat fakta di lapangan, ikan asin ternyata nyaris tidak pernah absen di meja makan sebagian besar warga Pasundan, terutama di daerah pedalaman. Di dalam daftar menu rumah makan Sunda-pun, akan selalu tercantum hidangan ikan asin (jambal) di samping, empal, dan tentu saja, lalapan. Rupanya saudara-saudara kita dari Jawa Barat selain dikenal sebagai pemakan ”daun-daunan”, juga sangat menyukai ikan asin.
BAGAIMANA STATUS GIZINYA?
Sebagaimana produk perikanan yang lain, ikan asin-pun mempunyai kandungan gizi yang baik, meskipun mungkin tidak akan sebaik ikan segar. Kenapa? Proses penggaraman dan pengeringan telah mengubah sifat-sifat kimia daging ikan, sehingga ketersediaan zat gizinya menurun. Namun perubahan ini bukan monopoli ikan asin saja. Pada dasarnya semua teknik pengolahan akan mempengaruhi nilai gizi produk. Jadi hal ini wajar saja. Lantas amankan mengkonsumsi ikan asin?
Pada dasarnya segala sesuatu kalau berlebihan pasti tidak baik. Allah melarang kita makan berlebih-lebihan, dan Dia tidak menyukai orang yang demikian (Qur’an: Surat Al An’aam 141 dan Al A’raaf 31). Demikian juga halnya bila kita mengkonsumsi ikan asin secara berlebihan. Salah satu yang harus kita waspadai adalah tingginya kadar garam ikan asin, dan hal inilah yang harus dijadikan faktor pembatas dalam mengkonsumsi kan asin, terutama bagi mereka yang sensitif terhadap garam (tinggi), misalnya penderita hipertensi.
Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa proses pembuatan ikan asin dapat menimbulkan zat penyebab kanker, salah satunya adalah nitrosamin. Mengkonsumsi nitrosamin berlebihan diduga dapat memicu timbulnya kanker nasofaring atau tumor ganas di daerah kepala dan leher (tenggorokan). Namun tidak perlu takut, karea hal ini disebabkan oleh makan ikan asin yang berlebihan. Penelitian ini dilakukan di perkampungan nelayan Cina Selatan yang penduduknya rutin makan ikan asin dalam jumlah besar. Data lain menunjukkan bahwa mayoritas penderita kanker nasofaring adalah dari etnis Cina. Karena itu, diduga kanker nasofaring juga ada hubungannya dengan faktor genetis. Jadi mengkonsumsi ikan asin tetap aman, selama tidak berlebihan, baik dari segi jumlah maupun frekuensi.
BAGAIMANA MEMILIH IKAN ASIN YANG BAIK
Memilih ikan asin yang baik cukup dengan mengandalkan panca indera. Ikan asin yang baik justru tidak terlalu bersih namun juga jangan yang terlalu banyak kotoran atau kristal garam di permukaannya. Pilih yang mempunyai bau khas (sedikit ada bau amoniak/pesing atau tengik tidak apa-apa, namun hindari yang berbau minyak tanah atau insektisida), dengan tingkat kekeringan sedang (tidak lembek dan tidak keras bila ditekan dengan jari) dan tidak berjamur. Noda merah merupakan salah satu pertanda adanya bakteri pembusuk yang tahan garam. Ikan asin, termasuk cumi, yang terlalu liat, sangat bersih, tidak berbau dan tidak dikerumuni lalat sebaiknya tidak dipilih, karena yang demikian ini merupakan tanda-tanda bahwa ia telah diolah dengan tambahan formalin, peroksida atau bahkan dicuci dengan detergen.
BAGAIMANA DI RUMAH?
Bila tidak segera dikonsumsi, ikan asin sebaiknya segera dibungkus dalam plastik atu aluminium foil dan disimpan dalam kulkas. Hindari penyimpanan ikan asin di ruang terbuka, karena akan menyebarkan aroma tidak sedap, mengundang lalat dan serangga lain serta daya awetnya juga akan turun. Penyimpanan dalam kulkas jangan melebihi satu bulan.
Sebelum diolah, disarankan ikan asin direndam dalam air hangat beberapa saat untuk mengurangi kadar garamnya. Jangan lakukan ini terhadap teri nasi karena dapat menyebabkan teri menjadi keras sesudah digoreng.
Lantas bagaimana mengolahnya? Halaman majalah ini akan kurang bila cara mengolah ikan asin dimuat di sini. Ragam budaya kita telah melahirkan puluhan resep masakan ikan asin. Tinggal pilih. Tapi coba yang satu ini: Menikmati ikan jambal roti goreng, sambal terasi, lalapan dan nasi pulen hangat, sambil menonton Opera Ikan Asin di televisi. Duh, tak terbayangkan!!! (Achmad Poernomo).
* Dimuat di Warta Pasar Ikan No 28, Januari 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar