Belum perform di pasar internasional
Sebagai negara kepulauan dengan panjang pantai lebih dari 80 km, Indonesia sangat berpeluang menjadi negara adidaya di bidang perikanan. Peluang tersebut terjawab dengan bertenggernya Indonesia dalam 5 negara perikanan terbesar ditinjau dari segi produksi. Menurut catatan FAO, Indonesia berada pada urutan 5, dengan produksi sebesar 5,8 juta ton pada tahun 2004. Meskipun demikian, di pasar internasional, Indonesia masih tertinggal jauh bila dibandingkan negara tetangga seperti Thailand dan juga pendatang baru yang sangat agresif, yaitu Vietnam yang ekspornya sudah menembus USD 3 milyar. Di pasar dunia, Indonesia hanya memegang pangsa sebesar 3%. Pada tahun 2006, ekspor Indonesia mencapai 894 ton dengan nilai USD 2,1M, baru pada tahun 2009 ekspor kita ditargetkan menembus USD 3 milyar.
Dibandingkan dengan sesama negara Asia, Indonesia menduduki peringkat ke empat sebagai eksportir perikanan, yaitu sesudah Cina, Thailand dan Vietnam. Di Jepang, khusus untuk udang, Indonesia yang semula menduduki peringkat pertama, dalam 3 tahun terakhir ini sudah diungguli oleh Vietnam. Kita masih bersyukur posisi kita sebagai pemasok tuna ke Jepang masih bertengger di urutan pertama. Namun, ancaman kelestarian sumberdaya ikan, serta kurang aktifnya kita di beberapa organisasi tuna dunia, peringkat tersebut suatu saat dapat melorot sebagaimana udang. Di Uni Eropa, pangsa ikan (tuna) kaleng kita tertinggal jauh, yaitu hanya 3% bila dibandingkan Thailand (15%), bahkan Filipina (11%). Padahal kita tahu betul bahwa sumberdaya tuna di kedua negara tersebut jauh lebih kecil dari sumberdaya tuna sebesar kita.
Dari segi harga, secara rata-rata, ternyata produk perikanan kita di pasar internasional juga dihargai lebih rendah daripada harga produk Thailand. Sebagai gambaran, pada tahun 2005, Thailand mengekspor sebanyak 1.762.484 ton dengan nilai USD 4.828 juta, sedangkan Indonesia sebanyak 857.782 ton dengan nilai USD 1.913 juta. Bila diambil reratanya, maka produk Thailand per satu ton dihargai sekitar USD 2.740, sedangkan produk Indonesia USD 2.230. Selisih sekitar USD 510 per ton tentu sangat berarti.
Negara tujuan utama ekspor Indonesia adalah Jepang, USA, Kanada dan Uni Eropa, yang secara agregat merupakan 79% dari ekspor kita. Pasar lain yang sangat prospektif antara lain Australia, Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Timur dan bahkan sesama ASEAN, namun saat ini baru 19% produk kita yang diekspor ke pasar tersebut. Sementara itu, produk yang kita eksporpun kurang bervariasi, yaitu 65% masih mengandalkan udang dan tuna, mayoritas dalam bentuk beku dan kaleng. Padahal masih cukup banyak komoditas perikanan kita yang potensial masuk ke pasar ekspor, antara lain rumput laut (kering maupun olahan), bandeng (beku tanpa duri), atau fillet nila dan patin. Ke depan, penganekagaraman produk dan negara tujuan ekspor harus dijadikan prioritas apabila kita ingin mendongkrak kinerja ekspor.
Vietnam merupakan salah satu contoh negara yang sangat inovatif dalam mengembangkan produk ekspornya. Ikan patin atau catfish (Pangasius) merupakan salah satu contoh keberhasilan Vietnam. Mereka memulai dengan produk ikan patin sekitar 5 tahun yang lalu dan kini merajai pasar Uni Eropa maupun Amerika untuk produk ini. Kata catfish sekarang sudah menjadi brand Vietnam, bahkan, sebutan basa untuk ikan patin berasal dari Vietnam mulai digunakan di pasar internasional. Padahal beberapa tahun lalu Indonesia dan Vietnam dengan bantuan Prancis (ORSTOM, sekarang IRD, lembaga Pemerintah Prancis untuk pengembangan internasional) bersama-sama melakukan riset patin. Salah satu jenis patin kita yang sangat prospektif adalah patin jambal yang berasal dari Jambi, baru 2 tahun belakangani digalakkan budidayanya, dan target produksi tahun 2007 adalah 29 ribu ton.
Persyaratan ketat
Sebagai makanan, di pasar internasional produk perikanan diharuskan memenuhi persyaratan yang cukup ketat. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian bila kita ingin bermain di pasar internasional, yaitu kualitas, keamanan pangan dan ketertelusuran (traceability) Selain masalah kualitas, pasar internasional semakin peduli dan berhati-hati terhadap keamanan pangan. Salah satu pasar yang paling ketat persyaratannya tentant ii adalah Uni Eropa.
Kasus penyakit sapi gila di Uni Eropa telah menyebabkan mereka mengubah kebijakan pangan-nya melalui White Paper on Food Safety dan Regulation (EC) No 178/2002 of the European Parliament and of the Council of 28 January 2002: General Food Law Regulation. Uni Eropa menerapkan apa yang disebut adalah “Farm to Fork approach”, yang mencakup semua sektor rantai produksi pangan dan pakan, dengan ketertelusuran (traceability) sebagai konsep dasar. Berdasar pendekatan ini, maka UE menegaskan bahwa keamanan pangan harus terjamin sejak produksi sampai ke meja makan dan harus dapat ditelusuri riwayatnya. Untuk bahan pangan impor, mereka juga menerapkan dua macam pengendalian atau kontrol yaitu pengendalian di pintu masuk (border control) dan pengendalian di pasar (market control). Yang terakhir ini semakin menambah kesulitan bagi semua negara pengekspor, karena dengan pengendalian di pasar, apabila ada produk yang sudah lolos di pintu masuk “tertangkap” tidak memenuhi persyaratan di salah satu negara anggota, akan dimusnahkan atau dikembalikan ke negara eksportir. Bagi kita, tentu ini tidak adil, karena lolos di pintu masuk ternyata tidak selalu menjamin amannya produk kita di UE, namun itulah persyaratan yang diberlakukan oleh mereka.
Indonesia saat ini masih termasuk dalam daftar negara yang dapat mengekspor produk perikanan budidaya ke UE. Salah satu persyaratan untuk tetap dalam daftar tersebut adalah adanya aktivitas monitoring residu 12 komponen atau metabolit antibiotika yang dilakukan oleh Otoritas Kompeten, dalam hal ini DKP. Akitivitas ini disusun dalam suatu Rencana (Plan) yang harus disetujui oleh UE. Apabila UE tidak menerima Plan kita, maka ada kemungkinan bahwa Indonesia dapat dicabut dari daftar tersebut. Ini semua diperlukan oleh UE untuk menjamin bahwa produk perikanan yang masuk ke pasar mereka bebas dari kandungan antibiotika.
Pada saat yang sama, saat ini telah menjadi kecenderungan di dunia untuk mendapatkan produk budidaya yang bersertifikat, untuk menjamin keamanan pangannya dan ketertelusuran. Walmart, salah satu hyper-market terbesar di Amerika Serikat mempersyaratkan bahwa udang budidaya yang dipasarkan di jaringannya harus disertifikasi oleh Aquaculture Certification Council (ACC) yang merupakan bagian dari Global Aquaculture Alliance (GAA). Di UE, sertifikasi dilakukan melalui skema EuropeGAP. Sementara ini, persyaratan itu masih diberlakukan antara pelaku bisnis (private to private), sedangkan negara importir belum memberlakukan sebagai persyaratan negara. Demikian juga di tingkat organisasi internasional, sertifikasi budidaya masih menjadi bahasan dan belum ada kesepakatan antar anggota, terutama dari pihak negara sedang berkembang. Namun demikian, gerakan sertifikasi ini tetap perlu diantisipasi, sehingga pada saatnya nanti kita tidak kedodoran lagi.
Amerika Serikat dan Jepang sebagai pasar terbesar bagi produk perikanan Indonesia juga mulai mengetatkan persyaratannya. Beberapa bulan terakhir kita dikejutkan oleh penolakan puluhan kontainer udang beku Indonesia oleh Jepang karena kandungan residu antobiotika yang melebih ambang batas. Amerika Serikat telah beberapa kali mengeluarkan detention list terhadap produk perikanan Indonesia, utamanya karena kandungan benda asing atau kotoran (filth) dan mikrobia yang melebihi ambang batas (indikator sanitasi dan higiena yang buruk). Kabar terakhir, USFDA mulai meneropong produk perikanan budidaya Indonesia yang diduga banyak mengandung residu antibiotika. Melihat kecenderungan ini, maka tidak mustahil negara importir lainnya (Kanada, Korea, Australia) juga akan mewaspadai produk perikanan kita, yang pada gilirannya tentu akan semakin mempengaruhi kinerja ekspor.
Mestinya tidak sulit
Permintaan pasar dunia sebenarnya masih tinggi untuk produk perikanan. Menurut perkiraan FAO, pasar ekspor dunia tahun ini akan mencapai 62,3 juta ton (Eropa 42%, Amerika Serikat 22%, Jepang 16%, dan pasar lainnya 20%). Untuk pasar Uni Eropa misalnya, konsumsi masih menunjukkan trend yang menaik (Gambar). Agar dapat bermain di pasar yang menjanjikan tersebut, tentu ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh eksportir kita, dan sebenarnya tidak terlalu sulit.
Yang utama produk olahan kita harus diproses secara saniter dan higienis, di Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang memenuhi syarat, dan kesemuanya ini ditandai dengan dipenuhinya dengan SKP (Sertifikat Kelayakan Pengolahan) yang dikeluarkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Sertifikat tersebut kini menyatukan dua hal yaitu Kelayakan Dasar (SKP versi lama) dan penerapan HACCP (Hazards Analysis and Critical Control Points).
Untuk pasar UE, UPI harus memiliki Approval Number yang dapat diperoleh dari DKP, setelah memperoleh SKP dengan nilai A+ dan memang berkeinginan ekspor ke UE. Selain Approval Number bagi UPI, Uni Eropa juga mensyaratkan bahwa semua kapal yang memasok bahan baku ke UPI tersebut harus memenuhi persyaratan sanitasi dan hiegiena dan terdaftar (registered).
Dokumen yang dipersyaratkan untuk ekspor produk olahan atau produk lainnya yang ditujukan untuk konsumsi manusia adalah Sertifikat Kesehatan (Health Certificate) yang dapat diperoleh dari Laboratorium Pengujian yang ditunjuk oleh Otoritas Kompeten. Uni Eropa mempunyai daftar laboratorium ini, termasuk spesimen tandatangan pejabat yang ditunjuk. Untuk mendapatkan sertifikat tersebut, ada beberapa uji yang mungkin harus dilakukan, misalnya uji kandungan mikrobiologi tertentu, uji kandungan logam berat, dan juga uji nilai organoleptik, yang kesemuanya masih menganut rezim end product testing. Ke depan, apabila pengendalian (official control ) yang dilakukan oleh Otoritas Kompeten telah berjalan efektif, maka uji-uji tersebut dilakukan hanya apabila diperlukan atau diminta oleh pasar.
Dokumen lain yang terkadang diperlukan untuk ekspor ke UE adalah SKA (Surat Keterangan Asal), utamanya untuk produk udang. Melalui dokumen ini UPI harus menjelaskan asal udangnya, apakah impor atau dari Indonesia. Udang yang berasal dari Indonesia akan mendapatkan tarif bea masuk yang lebih ringan. Dokumen ini dikelarkan oleh Departemen Perdagangan melalui kantor dinasnya di berbagai propinsi.
Amerika Serikat lain lagi. Sesuai dengan Public Health Security and Bioterrorism Preparedness and Response Act (Bioterrorism Act –PL 107-188), semua industri makanan yang membuat, memproses, mengemas dan menyimpan bahan makanan yang akan diekspor AS diwajibkan mendaftarkan (langsung) kepada USFDA. Selain itu, untuk produk udang, eksportir harus menjamin bahwa produknya telah dibudidayakan secara ramah lingkungan, atau ditangkap dengan alat tangkap yang dilengkapi dengan TED (Turtle Excluder Device) sehingga tidak menyebabkan tertangkapnya penyu. Yang terakhir ini dituangkan dalam formulir DS2031 yang juga dapat diperoleh di Laboratorium Penguji yang ditunjuk, dan disertakan bersama-sama dengan Sertifikat Kesehatan.
Apabila semua persyaratan di atas dapat dipenuhi, maka pasar yang menganga di Uni Eropa, Amerika atau Jepang, tentu dapat kita isi. Meskipun masih ada perkerjaan rumah yang harus diselesaikan, misalnya mengenai tarif bea masuk yang masih tinggi bagi produk perikanan kita di beberapa negara, namun memenuhi persyaratan kualitas dan keamanan produk bisa dikatakan menyelesaikan lebih dari separuh permasalahan ekspor. Sisanya, misalnya hambatan tarif, dapat diselesaikan melalui meja diplomasi dan negosiasi.
Kualitas dan keamanan produk: di mana dimulai?
Jaminan kualitas dan keamanan panan produk harus diberikan sejak dari produksi sampai distribusi, karena itu upaya pertama harus dimulai dari hulu. Kita sudah mengenal bahwa ikan merupakan bahan pangan yang mudah rusak dan berpotensi menimbulkan ancaman bagi keamanan pangannya. Proses menuju kerusakan dan tumbuhnya potensi ancaman dapat ditekan dengan menerapkan sistem rantai dingin yaitu Penerapan teknik pendinginan (sekitar nol derajat C) secara terus menerus dan tidak terputus sejak penangkapan, pemanenan, penanganan, pengolahan, distribusi sampai konsumsi.
Hanya dengan menerapkan sistem rantai dingain dibarengi dengan Good Manufacturing Practices serta memperhatikan prinsip sanitasi dan higiena, sepanjang mata rantai produksi sampai distribusi, para pelaku bisnis perikanan dapat memastikan bahwa produknya akan mendapat tempat yang baik di pasar internasional (Achmad Poernomo).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar