Ancaman di meja makan, sekolah dan pasar
Kasus formalin beberapa waktu lalu telah membukakan mata kita akan adanya bahaya di meja makan kita. Bahan pangan yang ternyata tercemar formalin adalah jenis yang sehari-hari disantap oleh berbagai kalangan masyarakat. Siapa di negeri ini yang tidak pernah menyantap mie, tahu, atau ikan? Ya, kepada bahan pangan tersebut telah ditambahkan formalin, baik oleh pengolahnya maupun pedagangnya, untuk mengawetkannya, dan ia telah kita konsumsi terus menerus selama ini.
Apakah hanya formalin yang masuk ke perut kita melalui makanan? Ternyata tidak. Penelitian yang dilakukan oleh berbagai perguruan tinggi terkemuka serta Yayasan Lembaga Konsumen telah memberikan gambaran yang menyeramkan. Penganan yang dikonsumsi oleh anak-anak kita di sekolah maupun di pasar ternyata banyak mengandung bahan yang seharusnya tidak untuk makanan, antara lain pewarna tekstil, boraks dan pemutih. Di berbagai daerah, banyak pengolah terasi menggunakan Rhodamin B, pewarna tekstil, untuk membuat terasinya berwarna kemerahan.
Bukan saja penggunaannya yang melanggar hukum, namun cara penggunaannya-pun tidak terkontrol sehingga sangat mungkin konsentrasi bahan tersebut menjadi cukup tinggi dalam makanan kita. Maka dapat dibayangkan, betapa banyaknya bahan berbahaya yang terakumulasi dalam tubuh kita selama ini melalui makanan yang kita santap.
Anatomi malpraktik
Di masyarakat praktek ilegal ini ternyata telah cukup lama ditemui. Bagaimana ini semua dapat terjadi?
Sebagian besar kasus malpraktik yang bermula dari pelaku adalah pemahaman atau kesadaran yang kurang. Pelaku tidak punya bekal yang cukup dalam menggunakan bahan tambahan pangan (BTP), bahkan tidak mengetahui mana yang diperbolehkan mana yang tidak diperbolehkan. Kasus formalin menunjukkan bahwa yang mereka ketahui adalah formalin dapat mengawetkan hasil tangkapan ikan, atau hasil tahu dan mi yang diproduksinya, namun tidak menyadari, bahkan cenderung tidak mau tahu akan bahaya yang ditimbulkan.
Faktor lain yang menjadi faktor adalah rendahnya pendidikan sebagian besar pelaku UKM pengolahan perikanan. Survey yang dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan IPB di berbagai tempat di Jawa pada tahun 2005 menunjukkan bahwa SDM UKM pengolahan perikanan didominasi oleh lulusan SD (58%) dan SMP (33%). Di tingkat industri, yang mendominasi adalah lulusan SMU (63%). Keadaan ini tentu menjadi hambatan dalam peningkatan kesadaran akan jaminan keamanan konsumsi produk perikanan.
Faktor teknis
Hampir semua para pelaku mengetahui bahwa BTP diperlukan dalam penanganan dan pengolahan pangan. Di perikanan, tidak ada nelayan maupun anak buah kapal yang tidak tahu bahwa es diperlukan dalam penanganan ikan, baik di kapal maupun di darat. Namun, tidak semua menggunakan es dengan secara benar, baik dari segi jumlah maupun teknik. Di samping itu, sifat perikanan yang tidak menentu hasil tangkapannya, serta mahalnya es, telah membuat banyak nelayan menggunakan formalin. Di darat, kendala mahalnya dan kelangkaan es juga memicu penggunaan formalin, yang menurut mereka, lebih praktis, mudah dan murah diperoleh. Di pasar atau di warung-warung akan dengan mudah dijumpai pewarna buatan dengan harga murah, dan setiap pembeli tidak pernah ditanya oleh penjual mengenai penggunaannya. Di lain pihak, BTP legal tidak mudah didapat, kalau toh ada, pasti lebih mahal.
Berdasarkan studi di lapangan, pelaku sebenarnya bukannya tidak mau menggunakan BTP yang legal. Namun mereka terkendala oleh harga BTP legal yang mereka mahal. Sebagai contoh untuk kasus formalin di perikanan, secara teknis untuk mengawetkan 1 ton ikan, dibutuhkan setidaknya 1 ton es dengan harga sekitar Rp 200.000,-. Bila di laut tidak memperoleh ikan, maka nilai ini dipastikan hilang. Sebaliknya bila menggunakan formalin, maka hanya dibutuhkan 5-10 liter dengan harga kurang dari Rp 50.000,-. Bila tidak mendapatkan ikan, maka formalin masih bisa dibawa pulang dan dipakai lagi pada kesempatan melaut berikutnya.
Di lain pihak, konsumen kita ternyata umumnya mencari produk murah dan belum sepenuhnya menghargai mutu. Penggunaan BTP legal dalam proses produksi sudah pasti akan meningkatkan biaya produksi dan pada gilirannya menaikkan harga jual. Hanya sebagian kecil konsumen kelas menengah yang mulai mencari barang berkualitas dan aman untuk dikonsumsi serta bersedia membayar lebih. Namun tetap sebagian besar konsumen ada pada strata pendapatan kecil, yang akan dengan mudah berpindah produk manakala ada kenaikan harga.
Regulasi dan Penegakan hukum lemah
Malpraktik penggunaan bahan terlarang dalam penanganan dan pengolahan ikan sudah tertengarai jauh sebelum kasus formalin mencuat. Undang-Undang No 7 tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang No 8 tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen, dan Undang-Undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan, serta berbagai regulasi yang merupakan tindak lanjuit dari undang-undang tersebut telah dengan jelas melarang penggunaan bahan berbahaya dalam penanganan dan pengolahan pangan dan ikan, termasuk sanksinya.
Ancaman pidana maupun denda yang tercantum di undang-undang tersebut cukup keras. Namun kendala di lapangan yang dijumpai adalah bahwa regulasi tersebut banyak tidak ditaati atau tidak berjalan. Pembinaan dan pengawasan tidak berjalan dengan semestinya, sementara itu, pelanggaran lebih banyak dikenai sanksi administratif dan pemusnahan produk, seperti yang sudah sering dilakukan oleh Badan POM.
Ketika kasus formalin muncul ke permukaan, barulah terlihat gerakan yang secara nyata membrantas malpraktik tersebut, dan dikenai ancaman pidana atau denda. Pada saat itu terlihat bagaimana gerakan tersebut telah memberikan efek jera yang cukup bagus, meski kemudian tidak muncul diberitakan bagaimana kasus-kasus pelanggaran diselesaikan. Demikian juga, setelah waktu berlalu, tidak banyak lagi kita dengar beritanya mengenai upaya lenbih lanjut mengenai pengawasan dan penindakan pelanggaran.
Kasus formalin sebenarnya hanya merupakan puncak gunung es dari malpraktik penggunaan bahan berbahaya dalam penanganan dan pengolahan pangan. Berbagai upaya harus terus dilakukan dengan mengatasi faktor di atas. Satu hal yang harus diingat, semua upaya dilakukan secara terus menerus dan jangan sampai berhenti, atau keamanan konsumen akan terancam. (Achmad Poernomo)
Dimuat di Majalah Food Review Indonesia Vol. 1, No. 6, Juli 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar