Produksi perikanan pada tahun 2004 adalah 6.275.810 ton yang meliputi hasil perikanan tangkap dan perikanan budidaya, 57% dipasarkan dalam bentuk segar, 30% diolah secara tradisional, 11% diolah secara modern (pembekuan, pengalengan) dan sekitar 2% dimanfaatkan sebagai produk lain seperti tepung ikan.
Dari angka di atas dapat disimpulkan bahwa industri pengolahan kita masih perlu ditingkatkan terus sehingga akan lebih banyak produk perikanan yang beredar di pasar dalam negeri, baik dari segi jumlah maupun jenis. Dengan tersedianya berbagai produk itu kita dapat mendongkrak tingkat konsumsi ikan di dalam negeri yang saat ini masih berkisar di angka 24 kg/kapita/tahun. Angka ini relatif rendah bila dibandingkan dengan negara tetangga kita seperti Singapura (85 kg/kap/th), Malaysia (45 kg/kap/th) atau Thailand (35 kg/kap/th).
Sebagai negara bahari, sudah selayaknya kita menjadi bangsa pemakan ikan, namun nampaknya ada hambatan yang menghalangi upaya peningkatan konsumsi ini, salah satunya adalah tertanamnya pemahaman bahwa Indonesia adalah negara agraris, dan ini terus dipertahankan selama masa orde baru. Akibatnya kebijakan pembangunan di masa lalu hampir selalu berorientasi ke darat dan pertanian. Banyak yang lupa bahwa dengan luasnya lautan kita (hampir dua per tiga luas teritorial Indonesia) maka negara ini lebih layak disebut negara bahari. Apalagi keunggulan bangsa ini pada masa lalu adalah justru karena kepiawaiannya menundukkan lautan. Kerajaan besar di masa lalu seperti Samodra Pasai, Sriwijaya dan Majapahit, semuanya menguasai lautan. Adalah Belanda yang dalam rangka menguasai bangsa dan negara ini, kemudian menanamkan mitos bahwa kita adalah negara agraris. Lebih merepotkan lagi adalah adanya mitos di berbagai tempat yang menyatakan bahwa laut adalah sesuatu yang menakutkan karena ditempati oleh berbagai “penguasa” yang pada akhirnya semakin menjauhkan bangsa ini dari laut. Sudah saatnya kita hilangkan semua halangan itu dan kita kembali menjadi bangsa bahari.
Hal lain yang menyebabkan rendahnya tingkat konsumsi kita adalah tidak efisiennya rantai distribusi produk perikanan di dalam negeri, serta kesenjangan (jarak, informasi, kuantitas) antara produksi dan permintaan. Di pihak konsumen, sementara itu, ada beberapa nilai budaya maupun mitos yang menghalangi konsumsi ikan, misalnya adanya pendapat salah yang mengatakan bahwa makan ikan menyebabkan cacingan atau gatal-gatal atau air susu ibu yang menyusui akan berbau amis dan sebagainya. Maka meningkatkan konsumsi ikan bukan hanya terkendala masalah teknis, namun kadang-kadang lebih banyak non-teknisnya, misalnya dengan membangun citra bahwa ikan adalah produk yang sehat dan aman untuk dikonsumsi.
Di pasar luar negeri, produk perikanan Indonesia lebih didominasi produk segar atau beku dengan pasar utama Jepang, Amerika dan Uni Eropa. Produk olahan yang kita ekspor masih sangat terbatas dalam bentuk ikan kaleng, itu-pun kalah jauh bila dibandingkan dengan Thailand yang menguasai pasar ikan kaleng dunia. Thailand juga dikenal sebagai negara pengekspor utama berbagai produk perikanan. Negara ini telah mencanangkan jauh-jauh hari sebagai negara pengolah, berbeda dengan Indonesia yang sampai saat ini masih saja memproduksi dan mengekspor produk mentah atau gelondongan.
Sebagai salah satu eksportir utama dunia Indonesia tidak luput dari berbagai permasalahan yang terkait dengan ketatnya persyaratan negara pengimpor. Persyaratan tersebut tidak saja berhubungan dengan masalah teknis seperti kualitas dan keamanan konsumsinya, namun juga non teknis seperti isu lingkungan dan ketertelusuran (traceability).
Uni Eropa saat ini memberlakukan Systemic border control yang mengwajibkan semua produk Indonesia yang masuk pasar Eropa menjalani tes khusus misalnya mengenai kandungan logam berat dan histamin (untuk ikan-ikan sejenis tuna, tongkol, tenggiri dll), dan biaya tes ditanggung oleh eksportir. Tentu ini menyulitkan dan memberatkan industri kita.
Amerika Serikat mewajibkan eksportir udang kita menyertakan dokumen DS2031 dalam persyaratan ekspor untuk menjamin bahwa udang yang diekspor ke sana ditangkap dengan trawl atau sejenisnya yang dilengkapi dengan alat pemisah penyu yang telah disetujui oleh mereka, atau bila dari budidaya, udang tersebut dipanen dari lahan pembudidayaan yang memenuhi syarat. Dengan kata lain, melalui dokumen DS2031 pula, eksportir harus bisa menjamin bahwa riwayat udang yang diekspornya dapat ditelusuri.
Pengolahan produk perikanan kita, di samping itu, juga menghadapi berbagai kendala seperti a) Rendahnya mutu bahan baku untuk usaha pengolahan hasil berdampak tingginya losses; b) Rendahnya utilitas kapasitas industri, yaitu sekitar 40% dari kapasitas terpasang karena kekurangan pasokan bahan baku; c) Usaha pengolahan hasil perikanan lebih dari 96% adalah usaha pengolahan tradisional (UKM) dengan berbagai keterbatasan; d) Masih maraknya penggunaan bahan kimia berbahaya/terlarang dalam penanganan dan pengolahan ikan; dan e) Belum berkembangnya diversifikasi produk dan pengembangan produk bernilai tambah.
Ditambah dengan era otonomi daerah, yang dalam beberapa hal dinilai kebablasan, maka industri pengolahan kita juga dihadapkan kepada kepastian hukum, keamanan dan ekonomi biaya tinggi yang ditampilkan dalam berbagai retribusi dan pungutan, yang akhir-akhir ini semakin banyak bermunculan.
Kesemuanya itu sungguh memerlukan upaya yang tidak mudah dan mungkin juga memakan biaya yang tidak kecil baik dari segi proses maupun upaya diplomasi. Namun bila itu semua bisa tertangani dengan baik, tentu harus melalui dengan kebersamaan antara pemerintah dan pelaku yang saling mendukung, maka hasil akhir yang diperoleh akan membawa manfaat yang tidak kecil bagi negara bahari ini, setidaknya dalam hal (1) meningkatkan nilai tambah, (2) meningkatkan jaminan mutu dan keamanan produk, (3) meningkatkan daya saing, (4) menyerap tenaga kerja sekaligus meningkatkan pendapatan pengolah, (5) menumbuhkan efek ekonomi ganda yang pada gilirannya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, dan tentu saja (6) peningkatan devisa dari perikanan. (Achmad Poernomo).
* Dimuat di Majalah TROBOS Vol VII, No 85), Oktober 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar