Senin, 24 Desember 2007

RUMPUT SERBA GUNA DAN SERBA UNTUNG DARI LAUT*


Untuk jaman sekarang, rasanya sangat aneh bila orang tidak mengenal agar-agar. Anak-anak di kota bahkan desa-desa yang berdekatan dengan kota pasti mengenal berbagai penganan dari agar-agar, terutama yang berbentuk jelly. Namun mungkin tidak semuanya tahu bahwa agar-agar dibuat dari tanaman dari laut yang disebut rumput laut. Di beberapa negara timur, seperti Jepang, Cina dan Korea, rumput laut telah dimanfaatkan sebagai makanan selama berabad-abad. Produk yang sangat dikenal di ke tiga negara tersebut antara lain kombu, wakame atau nori. Rumput laut juga banyak dimanfaakan saripatinya yaitu dalam bentuk produk hidrokoloid. 

Agar, alginat, dan karagenan merupakan produk hidrokoloid yang sudah dikenal. Produk turunannya yang jumlahnya mencapai ribuan, banyak digunakan di dunia pangan, industri, kedokteran, mikrobiologi dan farmasi, serta kosmetika. Di Indonesia, pemanfaatan rumput laut telah melewati sejarah panjang sejak tahun 1920an, dimulai dengan ekspedisi kapal penelitian Hindia Belanda. Sampai dengan tahun 1960an rumput laut kita sebagian besar hanya dimanfaatkan sebagai makanan (atau tepatnya ”sayuran”), dan obat-obatan tradisional untuk jenis tertentu. Beberapa kalangan bahkan menyebut jenis rumput laut tertentu sebagai tanaman dewa karena khasiatnya dalam mengobati tumor, tekanan darah tinggi dan gangguan kelenjar. Mulai tahun 1970an kita mengekspor rumput laut kering untuk memenuhi permintaan dunia yang semakin meningkat. Pada tahun 2005 tercatat permintaan dunia mencapai 260,5 juta ton, dan tahun ini diperkirakan sekitar 274 juta ton, bahkan diperkirakan menjadi sekitar 315-320 juta ton pada tahun 2010 nanti. Sayangnya, Indonesia saat ini baru dapat mengisi permintaan tersebut sekitar 40.162 ton atau senilai USD 20,5 juta (tahun 2003). 

Produksi rumput laut kita saat ini tercatat sekitar 300 ribu ton per tahun, sangat kecil bila dibandingkan dengan potensinya. Kita memiliki potensi area untuk budidaya rumput laut sekitar 1,1 juta hektar, dan dengan produktifitas per hektar per tahun 16 ton, maka kita berpotensi memproduksi sebanyak 17.6 juta ton per tahun atau sekitar Rp 80 triliun bila harga per tonnya Rp 4,5 juta. Ini dengan asumsi pola pembudidayaannya dilakukan dengan monokultur. Bila dilakukan secara polikultur, ternyata rupiah yang diperoleh menjadi lebih besar. Belum lagi kalau rumput lautnya diolah lebih lanjut. Apa benar demikian?

Belum diolah sudah untung Sekelompok pembudidaya rumput laut di Kabupaten Pasuruan telah membuktikannya. Mereka, di bawah binaan PT Agar Sehat Makmur Lestari, berhasil melakukan budidaya rumput laut Gracilaria yang ditumpangsarikan dengan bandeng atau udang. Hasilnya, setiap 45 hari mereka memperoleh rumput laut yang ditampung oleh perusahaan, dan juga panen udang atau bandeng tanpa adanya masukan biaya tambahan yang berarti.. Dengan kata lain udang atau bandengnya adalah bonus, yang nilainya bisa menyamai nilai rumput lautnya. Hasil hitungan Tim Riset Tabloid Kontan berikut menunjukkan hal serupa. Dengan investasi awal Rp 257,7 juta (paling besar untuk membeli 50 ha tambak seharga Rp 250 juta), dan modal kerja 114,5 juta per tahun untuk bibit (rumput laut, udang dan bandeng), tenaga kerja dll, dalam setahun bisa diperoleh laba bersih Rp 149 juta. Dengan perhitungan sederhana, ternyata dalam jangka waktu kurang dari 2 tahun, modal telah kembali. Bagaimana dengan pengolahannya? Sayangnya, sebagaimana kecenderungan industri perikanan lainnya, rumput laut kita lebih banyak diekspor dalam bentuk kering, sehingga nilai ekonominya tidak tinggi. Berbeda dengan negara tetangga kita seperti Thailand atau Filipina. Thailand dikenal sebagai importir bahan baku perikanan (termasuk dari Indonesia) dan eksportir produk olahan (termasuk ke Indonesia). Dalam hal rumput laut, Filipina adalah jagonya. Padahal Indonesia tidak terlu ketinggalan terlalu jauh dari mereka. Contoh yang bisa ditampilkan di sini adalah rumput laut Gracilaria kering versus agar-agar. 

Sekilas tentang agar-agar Ekstraksi agar pertama kali ditemukan di Jepang pada tahun 1658, yaitu dari rumput laut merah menggunakan air panas. Irish Moss (Chondrus crispus), merupakan rumput laut merah pertama yang digunakan sebagai sumber karaginan, sedangkan alginat pertama kali diekstrak dari rumput laut coklat dalam skala industri pada tahun 1930an. Sejak saat itu produksi hidrokoloid dari rumput laut semakin meningkat, dan saat ini, dari sekitar 1 juta ton rumput laut basah yang dipanen setiap tahunnya, dihasilkan sekitar 55 ribu ton dengan nilai USD 585 juta. Dari ke tiga jenis hidrokoloid di atas, hanya alginat yang diekstrak dari rumput laut panenan dari alam, yaitu rumput laut coklat. Budidaya rumput laut coklat dianggap terlalu mahal, sehingga tidak ekonomis. Rumput laut penghasil agar dan karaginan sebagian besar merupakan hasil budidaya. Dalam bentuk jeli yang diberi pemanis dan aroma (dodol) agar telah dikenal di belahan Asia Timur sejak berabad-abad. Di Jepang, ia dikenal dengan sebutan sebagai kanten yang berarti cuaca dingin, sedangkan di Cina disebut dongfen atau bubuk beku. Kata agar (-agar) sebenarnya berasal dari bahasa Melayu yang mengacu kepada dodol yang dibuat dari rumput laut Eucheuma muricatum dari Hindia Belanda atau Indonesia. Konon, migran dari Cina membawa kanten dari Jepang ke Indonesia dan dari merekalah kata dan resep pembuatan agar-agar berasal. Kemudian bangsa Belanda membawa dan memperkenalkan agar-agar ini ke Eropa, dan karenanya nama agar-agar kemudian dikenal di seluruh dunia. 

Agarofit, adalah sebutan bagi rumput laut merah penghasil agar. Dua jenis agarofit yang paling banyak digunakan saat ini adalah dari kelompok Gelidium (Gelidiaceae) dan Gracilaria (Gracilariaceae). Yang pertama menghasilkan agar dengan kualitas yang lebih baik, namun budidayanya lebih sulit dan ketersediaannya di alampun lebih sedikit dibandingkan yang ke dua. Lebih dari 150 jenis terdapat dalam keluarga Gracilaria, dan saat ini banyak dibudidayakan dalam skala besar di Chili, Taiwan, Vietnam dan beberapa negara tropis lainnya. Pengolahan agar dari rumput laut sebenarnya sangat sederhana, dan tidak melibatkan teknologi yang telalu tinggi. Faktor penting dalam pengolahannya adalah kualitas bahan baku (setidaknya telah berumur 45 hari), dan pengendalian proses secara cermat disertai dengan penanganan dan pengolahan limbahnya. 

PT Agar Makmur Sehat Lestari, merupakan salah satu perusahaan pengolah agar yang berhasil, walaupun usianya baru sekitar 3 tahun (di Tangerang ada pabrik serupa yang lebih lama berkecimpung di bidang agar, sedangkan di Takalar ada pula pabrik baru yang relatif seumur dengan PT Agar Makmur Sehat Lestari). Perusahaan ini telah mengolah agar bubuk untuk makanan (food grade) yang beroperasi sejak 3 tahun yang lalu, dan mengeskpor produknya ke Italia sekitar 12-14 ton per bulan. Dengan mempekerjakan sekitar 125 orang (24 jam sehari, 3 shift), pabrik menghasilkan sekitar 500 kg agar bubuk per hari. Pabrik juga dilengkapi dengan unit pengolahan limbah cair modern, dan menghasilkan produk sampingan berupa pupuk atau media untuk jamur. 

Berapa nilai yang diperoleh dari mengolah agar? Gambaran kasar adalah sebagai berikut. Rumput laut gracillaria kering bila diekspor hanya mendapatkan harga USD 500 per ton, sedangkan dalam bentuk agar bubuk (rendemen sekitar 10%) diperoleh harga sebesar USD 12.000 – 13.000 per ton. Angka ini bisa menggambarkan berapa besar nilai tambah yang diperoleh. Bila produk sampingan (pupuk dan media jamur) ikut dihitung, maka semakin tinggi pula nilai tambah yang diperoleh. Rumput laut memang menggiurkan. Ikutan yuk!! (Achmad Poernomo). Dimuat di Warta Pasar Ikan No 34, Juni 2006

Tidak ada komentar:

Memperkuat Jaminan Mutu Hasil Perikanan

Pangan yang aman, sehat dan berkualitas telah menjadi tuntutan konsumen, utamanya di pasar internasional yang persyaratannya semakin ketat. ...