Kamis, 28 Oktober 2021

Memperkuat Jaminan Mutu Hasil Perikanan

Pangan yang aman, sehat dan berkualitas telah menjadi tuntutan konsumen, utamanya di pasar internasional yang persyaratannya semakin ketat. Untuk memenuhi tuntutan itu, diperlukan berbagai upaya untuk menjamin mutu dan keamanan pangan yang melibatkan semua pihak di sepanjang rantai pasok pangan. Dengan kata lain, jaminan mutu dan keamanan pangan merupakan tanggungjawab semua pemangku kepentingan di bidang pangan, sesuai dengan perannya masing-masing.  Pelaku usaha dituntut menyediakan pangan yang berkualitas, sehat dan aman, sedangkan pemerintah berkewajiban menjamin terwujudnya penyelenggaraan keamanan pangan di sepanjang rantai pangan. 

Berdasarkan Undang-undang no 18 tahun 2012 tentang Pangan, dan Peraturan Pemerintah no 86 tahun 2019 tentang Keamanan Pangan, kementerian teknis seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mempunyai kewenangan pengawasan pangan segar. Sedangkan untuk pangan olahan kewenangan tersebut berada pada Badan Pengawasan Obat dan Makanan; dan Kementerian Perindustrian. Namun berdasarkan UU no 45 tahun 2009 tentang Perikanan, KKP mendapatkan kewenangan untuk mengatur perikanan dalam satu kesatuan bisnis hulu-hilir, termasuk jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan. Kewenangan ini telah diturunkan menjadi berbagai regulasi, dalam bentuk Peraturan Pemerintah sampai Peraturan atau Keputusan Direktur Jenderal dan Kepala Badan.

Penjaminan mutu dan keamanan hasil perikanan merupakan satu kesatuan sistem dan tidak bisa ditegakkan secara parsial. Di KKP, kewenangan ini berada pada Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan sebagai Otoritas Kompeten (OK) yang ditunjuk oleh Menteri. Sesuai dengan struktur OK, hanya ada 3 eselon 1 yang menjadi komponen utama, yaitu BKIPM sebagai Manajer Puncak, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) dan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) masing-masing sebagai Manajer Teknis di bidang Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya. Dalam hal pengendalian, ketiganya mendapat kewenangan menerbitkan sertifikat. DJPT menerbitkan sertifikat terkait dengan perikanan tangkap, DJPB terkait dengan perikanan budidaya, sedangkan BKIPM untuk pengolahan. 

Bila merujuk kepada struktur KKP, sebenarnya terdapat 3 eselon satu yang langsung bertanggung jawab untuk menjamin kualitas dan keamanan ikan dan produknya, sesuai dengan kewenangannya masing-masing, yaitu DJPT, DJPB dan Ditjen  Penguatan Daya Saing Produksi Kelautan dan Perikanan (DJPDS). Meskipun demikian, DJPDS tidak dimasukkan dalam struktur OK dan dengan demikian tidak diberi kewenangan menerbitkan sertifikat pengendalian. DJPDS hanya berwenang menerbitkan Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) yang dianggap bukan bagian dari pengendalian, meskipun SKP merupakan prasyarat diterbitkannya sertifikat Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) oleh BKIPM. Selanjutnya, sertifikat HACCP digunakan sebagai syarat penerbitan Sertifikat Kesehatan (Health Certificate/HC) untuk ekspor yang juga oleh BKIPM. Keadaan ini telah menyebabkan kurang harmonisnya hubungan antara BKIPM dan DJPDS, yang terkadang membawa implikasi terhadap lambatnya pelayanan sebagaimana dikeluhkan oleh pelaku usaha.

Hal di atas juga dicermati oleh Program GQSP (Global Quality and Standards Programme) SMART-Fish 2, yang dilaksanakan atas kerjasama antara UNIDO (United Nations Industrial Development Organization) dan KKP. Melalui kajian peraturan perundang-undangan yang ada serta mempertimbangkan ketentuan dan standar international, SMART-Fish 2 telah menyusun Concept Note yang berisi sejumlah rekomendasi untuk menyelaraskan dan menyederhanakan sistem jaminan mutu untuk meningkatkan transparansi dan pelayanan kepada pelaku usaha. Rekomendasi dan saran-saran yang disampaikan antara lain melengkapi struktur organisasi OK dengan memasukkan DJPDS sebagai Manager Teknis di bidang Pengolahan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Untuk mempercepat pelayanan, maka penerbitan SKP dan HACCP dapat dilakukan oleh satu instansi yang sama. Apabila dipandang memenuhi syarat, maka UPI bisa langsung memperoleh sertifikat HACCP tanpa harus melalui sertifikasi SKP. Sederhananya begini: UPI yang akan mengajukan sertifikasi HACCP diberi pilihan apakah akan melakukan sertifikasi bertahap melalui SKP atau langsung HACCP. Selanjutnya dilakukan penilaian untuk sertifikasi oleh OK sesuai dengan pilihannya tersebut. 

SMART-Fish 2 juga menyarankan perlunya peningkatan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan, yaitu melalui pendelegasian kewenangan sertifikasi kepada pihak ketiga (3rd party certification). Tentu saja pihak ketiga tersebut harus memenuhi persyaratan antara lain terakreditasi sebagai Lembaga Penilai Kesesuaian (LPK) oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan persyaratan lain yang ditentukan KKP. Penilaian kesesuaian oleh pihak ketiga ini dapat menimbulkan tambahan biaya, namun bila ini berdampak positif terhadap kecepatan dan kemudahan pelayanan, maka pelaku usaha besar tentu tidak akan berkeberatan. Alternatif lainnya adalah Unit Pelaksana Teknis KKP ditingkatkan menjadi LPK terakreditasi untuk melayani pelaku usaha kecil dengan  biaya yang minimal atau bahkan ditanggung negara. Adanya 3rd party certification ini dapat mengurangi beban kerja pemerintah, meminiminalkan konflik kepentingan dan menambah kepercayaan pasar.

Percepatan pelayanan dapat juga diselenggarakan dengan diterapkannya penilaian/sertifikasi berbasis risiko (risk based assessment/certification). Hal ini mengingat bahwa produk perikanan mempunyai risiko yang tidak sama terhadap kesehatan. Ada yang risikonya memang tinggi, misalnya produk siap saji atau ready to eat product, namun ada juga yang risikonya rendah misalnya rumput laut kering. Dengan semakin perlunya kecepatan dan ketepatan dalam proses sertifikasi, maka sistem penilaian (assessment) yang berbasis risiko ini bisa menjadi salah satu pilihan. Manfaat lainnya adalah sumber daya (infrastruktur mutu dan staf) yang terbatas di KKP bisa lebih diarahkan untuk pengawasan secara ketat terhadap produk yang berisiko tinggi.

Ketersediaan standar dan perkembangan teknologi informasi telah memberikan peluang bagi KKP untuk mengembangkan sertifikasi dan penilaian jarak jauh (remote certification/assessment). Remote assessment ini tidak hanya bisa dilakukan selama pandemic COVID 19 tetapi juga di masa normal untuk UPI di lokasi terpencil, produknya berisiko rendah atau yang sudah memiliki reputasi yang baik. Selain meningkatkan pelayanan, ini akan menghemat sumberdaya yang ada di KKP baik dari segi anggaran maupun sumbedaya manusia. 

Selain itu KKP juga perlu mempertimbangkan pengakuan terhadap sistem jaminan mutu global lain yang setara dengan atau bahkan lebih tinggi dari HACCP (ISO dll).  Misalnya, bagi perusahaan yang sudah mendapatkan sertifikat ISO 22000 sesuai permintaan pembeli, maka pihak KKP tidak perlu lagi melakukan penilaian HACCP, dan tinggal menerbitkan HC-nya untuk keperluan ekspor, karena di dalam ISO 22000 sudah tercakup HACCP. 

Jaminan mutu dan keamanan pangan akan semakin kuat bila didukung dengan implementasi sistem ketertelusuran (traceability). Penulis telah menggaungkan sistem ini sejak 2007 (http://achpoer.blogspot.com/2007/12/menuju-jaminan-keamanan-pangan-produk.html) namun di Indonesia baru mendapatkan momentumnya ketika Presiden Obama membentuk Task Force on Combating IUU Fishing and Seafood Fraud pada bulan Juni 2014, yang kemudian diikuti dengan diberlakukannya Seafood Import Monitoring Program (SIMP) sejak Januari 2018. SIMP mewajibkan ketertelusuran sejumlah ikan dan produknya (termasuk udang) yang masuk Amerika. Sebelum SIMP diberlakukan, Amerika melalui USAID telah memberikan bantuan program kepada beberapa negara eksportir, untuk memperkuat sistem ketertelusuran dan pelaksanaannya di negara masing-masing. Di Indonesia, salah satu hasilnya adalah Sistem Telusur dan Logistik Ikan Nasional (Stelina) yang dikembangkan bersama KKP. Sistem ini sangat baik namun sampai sekarang belum mempunyai payung hukum untuk pelaksanaannya. 

 Dari semua hal di atas, maka yang terpenting adalah komitmen untuk berubah demi pelayanan yang prima kepada para pelaku usaha. Komitmen tesebut bisa dimulai dengan mereviu dan menyusun kembali beberapa regulasi terkait serta menghilangkan hambatan yang ada, termasuk hambatan komunikasi di lingkup KKP maupun dengan para pelaku usaha. Semangat peningkatan pelayanan yang merupakan salah satu dasar pembentukan Undang-Undang no 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja harus menjiwai perubahan tersebut.

Dimuat di Majalah TrobosAqua edisi Januar-Februari 2021

Laut dan Perubahan Iklim nyaris terlupakan

 Fakta bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan sudah dipahami oleh banyak orang. Lebih dari 140 juta penduduk Indonesa hidup di pesisir yang panjangnya mencapai lebih dari 95 ribu km, terpanjang nomer dua di dunia. 

Sumberdaya laut dan pesisir kaya dengan keanekaragaman hayati, dan merupakan sumber ekonomi yang luar biasa. Menurut Rokhmin Dahuri, nilai ekonomi tersebut dapat mencapai USD 800 juta per tahun dan dapat menyediakan 40 juta lapangan kerja. 

Indonesia saat ini menduduki peringkat ke dua sebagai negara produsen perikanan di dunia sesudah China. Produksi perikanan tangkap dan budidaya pada tahun 2017 tercatat sebesar 23,2 juta ton, (termasuk 9,8 juta rumput laut) senilai Rp 385,7 trilyun, garam sebesar  1,1 juta ton, serta menghasilkan devisa melalui ekspor sebesar  USD 4,5 milyar. Pada tahun 2020, Menteri Kelautan dan Perikanan mencanangkan target produksi 26,5 juta ton ikan (termasuk rumput laut), 3 juta ton garam dan ekspor senilai USD 6,2 milyar.

Laut (dan juga perairan umum) menyediakan sumber makanan yang selama berabad-abad telah memenuhi kebutuhan protein hewani rakyat. Ikan secara konsisten berkontribusi 40% dalam konsumsi protein, atau sekitar 60% dari konsumsi protein hewani. Konsumsi ikan pada tahun 2017 ada pada angka 47 kg/kapita/tahun, dan ditargetkan menjadi 56 kg/kapita/tahun.

Perubahan iklim sudah puluhan tahun menjadi perhatian dunia dan berbagai pertemuan, baik yang bersifat ilmiah maupun kebijakan telah diadakan. Temuan berbagai studi ilmiah telah membuktikan bahwa laut mempunyai peranan penting dalam pengaturan cuaca dan iklim di dunia, dan karenanya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tidak boleh tidak harus menyertakan fungsi dan peran laut tersebut. Meskipun demikian, fokus tentang perubahan iklim telah terlalu banyak diarahkan kepada daratan yang hanya merupakan 30% luas bumi, menyerap hanya 10% panas dan mendaurulang 7%  CO2 di atmosfer. Pertemuan yang digagas oleh UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) di bawah PBB setiap tahun sampai yang ke 25 tahun ini di Madrid, masih saja belum memberi porsi yang memadai untuk membahas peran laut dalam perubahan iklim.

Posisi geografis Indonesia yaitu  di antara dua benua dan dua samudra besar menyebabkan Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim. Berbagai indikasi dampak perubahan iklim telah terlihat dalam berbagai bentuk dan yang paling nyata adalah kenaikan suhu dan permukaan air laut, yang menyebabkan terancamnya mata pencaharian dan kehidupan masyarakat pesisir, serta berubahnya  pola atau aktivitas perikanan dan akuakultur.

Kenaikan suhu dan permukaan air laut menimbulkan ancaman yang nyata dan masif di berbagai tempat. Berbagai kota besar di sepanjang pesisir pulau Jawa, Sumatera dan di berbagai pulau lainnya diramalkan bakan terendam dalam beberapa dekade ini. Seorang pakar geografi UGM, almarhum Professor Sudibyakto telah meramalkan bahwa dalam 100 tahun kota-kota di pulau Jawa seperti Pekalongan dan Semarang garis pantainya akan mundur ke darat sejauh 2-3 kilometer. Menurut Balitbang Kelautan dan Perikanan, KKP 5 pelabuha perikanan besar yaitu Ambon; Bitung, Bungus, Nizam Zachman dan Palabuhan Ratu akan terendam  air laut antara  65-117 cm pada 2026. Bahkan koran Jakarta Post pada tanggal 6 Nopember 2019 yang lalu mengutip hasil penelitian Climate Central yang menyebutkan bahwa pada 2050 sejumlah kota pesisir di Jawa, Sumatera dan Kalimantan akan terendam air laut setinggi 0,6-2,1 meter dan 23 juta penduduknya akan terdampak. Kenaikan permukaan air laut sebesar 1 meter dapat menyebabkan Indonesia kehilangan tanah pertanian produktif seluas 146.500 hektar di pulau Jawa, 1.345 hektar di pulau Sumatera dan 15.200 hektar di pulau Sulawesi.

Dampak perubahan iklim bagi perikanan dan akuakultur bisa dikelompokkan menjadi dua bagian besar yaitu dampak terhadap ekosistem, serta mata pencaharian nelayan dan pembudidaya, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi kontribusi perikanan terhadap ketahanan pangan nasional. Beberapa ahli mencatat pengaruh tersebut melalui perubahan ketersediaan, stabilitas, akses dan  ragam produk ikan. Suhu air laut yang meningkatkan dilaporkan telah mengubah rute migrasi berbagai jenis ikan, menyebabkan pemutihan atau kematian terumbu karang sebagai daerah asuhan ikan dan menyebabkan timbulnya berbagai penyakit baru ikan.

Dari sisi ketersediaan, suatu studi yang dilakukan oleh Cheung dkk (2009) menyimpulkan bahwa apabila produksi gas rumah kaca tidak dikurangi, maka pada tahun 2100 stok ikan di daerah tropis akan berkurang sebesar 50%, sedangkan di Indonesia akan terjadi pengurangan sebesar 6-22%. 

Perubahan iklim di Indonesia yang semula ditangani oleh Kementerian Lingkungan Hidup sejak 5 tahun terakhir telah dipindahkan ke Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, di bawah Direktorat Jenderal Perubahan Iklim. Dewan Nasional Perubahan Iklim yang beranggotakan 17 kementerian dan dipimpin langsung oleh Presiden (SBY) sudah lama dibubarkan. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) Indonesia yang bertugas memberi masukan ilmiah tentang perubahan iklim juga sudah dibubarkan dan diubah menjadi Forum Pakar Kehutanan dan Perubahan Iklim. Maka mitigasi dan adaptasi perubahan iklim menjadi asuhan kementerian yang sektoral, padahal kegiatan tersebut sangat multisektor. Maka koordinasi menjadi sesuatu hal yang tidak semudah ketika diucapkan atau diwacanakan. 

Khusus di sektor kelautan, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim menjadi sesuatu yang tidak jelas keberadaannya. Di KLHK laut dan pesisir belum mendapatkan perhatian yang seharusnya, di Kementerian Koordinator Bidang Maritim juga demikian. Padahal di Kemenko Maritim inilah seharusnya harapan diletakkan mengingat fungsi koordinatifnya. Di Kementerian Kelautan dan Perikanan situasinya pun tidak banyak berbeda. Dalam 5 tahun terakhir nyaris tidak ada kegiatan di KKP yang dapat diidentifikasi berkaitan langsung dengan perubahan iklim. Kalau toh ada, itu tersebar di berbagai unit namun keberadaannya antara ada dan tiada. Dan sudah pasti tidak terkoordinasikan. Padahal pemanfaat utama sumberdaya laut dan pesisir adalah nelayan, pembudidaya dan petambak garam yang nyaris tidak mempunyai kapasitas dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Kepada siapa lagi mereka berharap dan menggantungkan harapan kalau tidak ke KKP. 

Apabila kita mencermati Undang-undang No 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, maka pesan untuk melindungi nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam dari perubahan iklim sangatlah jelas. Pasal 30 undang-undang ini dengan jelas mengamanatkan kepada Pemerintah (Pusat dan Daerah) untuk memberikan perlindungan kepada mereka atas risiko yang dihadapinya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan, budidaya ikan dan penggaraman, dan salah satu risiko tersebut adalah Perubahan Iklim (Pasal 30 ayat 3c).

Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) yang disusun oleh Bappenas pada 2013 yang di dalamnya ada laut, pesisir dan pulau-pulau kecil, tidak ada tindak lanjutnya oleh kementerian terkait, apatah lagi Pemerintah Daerah. Bulan Oktober yang lalu Bappenas mengadakan SDGs Annual Conference yang kedua dengan mengambil tema “Keberlanjutan Lautan untuk Meningkatkan Kesejahteraan dan Mengurangi Kesenjangan.” Tema ini tentunya bukan tanpa alasan ketika dijadikan pokok bahasan. Ada pesan besar di dalam tema tesebut.

Di dalam SDG (Sustainable Development Goals), perubahan iklim dan kelautan (Life under water) ada di goal 13 dan 15. Goal ke 13 dengan jelas mengamanatkan agar negara memperkuat daya tahan dan kapasitasnya terhadap perubahan iklim, mengintegrasikan perubahan iklim dalam kebijakan nasional serta memperbaiki pendidikan, penyadaran dan kapasitas terhadap mitigasi dan adaptasi  perubahan iklim. Sedangkan goal ke 14 mengamanahkan negara untuk melakukan pelestarian & pemanfaatan berkelanjutan ekosistem laut. 

Maka pesan yang ingin disampaikan artikel ini adalah agar laut dan perubahan iklim mendapat narasi yang tegas dalam kebijakan nasional, terutama bila kita tetap akan meletakkan Laut sebagai Masa Depan Bangsa. Bila tidak ada yang memeloporinya, maka KKP harus berani mengambil inisiatif. Jangan lupa, nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam adalah stakeholder utama KKP.


Dimuat di Majaah TrobosAqua edisi November-Desember 2019

Perikanan di Era New normal

Dalam beberapa bulan terakhir ini kosa kata bahasa Indonesia telah bertambah satu lagi yaitu new normal yang banyak diterjemahkan dengan Kenormalan Baru. Tidak hanya di Indonesia, new normal telah menjadi jargon baru di tingkat global, dibicarakan di tingkat pemerintahan, dunia ilmiah dan tentu saja masyarakat awam. Dua kata ini timbul mengikuti meruyaknya pandemi global Covid19 yang telah mempengaruhi pola dan gaya hidup manusia nyaris di seluruh dunia. Apa sesungguhnya new normal yang banyak disebut oleh banyak pejabat dan dikutip oleh belasan media nasional dan internasional, bahkan menjadi perbicangan masyarakat banyak itu? 

Sejatinya, istilah ini sudah digunakan untuk menggambarkan perubahan sikap atau perilaku rakyat Amerika, termasuk skuad pemadam kebakaran New York setelah peristiwa September 2011 (Taylor, 2002; Porter, 2003). Namun kini istilah tersebut kini lebih banyak dikaitkan dengan Roger McNamee sebagaimana judul bukuya The New normal: Great Opportunities in a Time of Great Risk yang terbit pada tahun 2004. Ia adalah seorang tech investor, yang menyatakan bahwa kita harus beradaptasi dengan tata permainan baru dalam jangka panjang. Dan memang itulah yang saat ini terjadi; karena pandemi Covid19 kita harus hidup dengan pola yang baru di hampir seluruh sektor. Kita, dan perikanan, telah berada pada era new normal. 

Artikel ini memang membahas pemikiran bagaimana perikanan menjalani new normal karena Covid19. Meskipun demikian, elok untuk disimak bahwa new normal untuk perikanan (tangkap) sebenarnya bukan hal baru. Pada 2016, Valerie Hickey dalam blog-nya (blog.worldbank.org) menulis bahwa perikanan sedang menuju kebangkrutan. Mengutip publikasi the World Bank (The Sunken Billions), ia menyebut terjadinya kehilangan nilai ekonomi perikanan laut global sebesar USD 50 milyar per tahun akibat pengelolaan yang tidak benar. Angka tersebut pada tahun 2017 diestimasi ulang oleh the World Bank menjadi sekitar USD 83 milyar (The Sunken Billions Revisited: Progress and Challenges in Global Marine Fisheries). Untuk mengatasi hal tersebut, Hickey menyatakan perikanan laut harus berbenah dengan praktik sustainable fishing sebagai new normal. Menurut Hickey, hal ini dapat dicapai dengan tata kelola yang baik dengan memanfaatkan sains, teknologi dan data yang juga lebih baik. Terdengar lazim, namun sebenarnya hal ini menuntut cara pandang yang berbeda dan upaya bersama yang luar biasa, baik oleh saintis, industri teknologi, pemerintah dan pelaku usaha perikanan. Indonesia sudah seharusnya mulai menerapkan hal ini lebih baik lagi bila ingin tetap menjadi negara perikanan terbesar nomer dua di dunia setelah China. 

 Kembali kepada new normal karena Covid19, kita dituntut untuk beradaptasi dengan virus corona di sekitar kita yang kita tidak pernah tahu di mana keberadaannya. Kita hanya bisa menduga-duga dan dengan segala data dan informasi tentangnya kita dipaksa melakukan perubahan gaya hidup untuk menghindari infeksi. Maka kita harus menerapkan protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-hari di segala bidang, baik dalam ranah pribadi di rumah, di jalan, di tempat kerja, di tempat terjadinya interaksi ekonomi dan sosial bahkan di rumah-rumah ibadah. Interaksi antar manusia menjadi sangat dibatasi dengan masker, cuci tangan dan jaga jarak (social distancing). 

Dunia pangan termasuk perikanan sebenarnya tidak harus terlalu kawatir tentang virus corona ini. Pada awal April yang lalu, FAO dan WHO telah menyatakan bahwa sejauh ini kecil kemungkinan manusia dapat tertular Covid19 melalui makanan. Hal ini karena Covid19 adalah penyakit respiratori dan rute utama transmisi adalah melalui orang per orang atau melalui percikan ludah atau bersin dari orang yang telah terinfeksi, dan tidak ada bukti bahwa virus Corona dapat berkembang biak di makanan. Mereka membutuhkan hewan atau manusia sebagai inang untuk bermultiplikasi. Dengan demikian, sampai ada bukti baru, maka satu-satunya jalan untuk mencegah merebaknya virus ini melalui perikanan adalah penguatan praktik sanitasi dan higienia para pekerja sepanjang rantai produksi, dari hulu sampai hilir dalam menangani ikan dan produknya. Hal ini mutlak diikuti dengan pemenuhan protokol kesehatan yang telah ditentukan. 

Sejatinya, praktik sanitasi dan higiena merupakan suatu keharusan di industri perikanan. Sejak ikan ditangkap atau dipanen, ikan harus mendapatkan perlakukan istimewa untuk memastikan keamanan pangannya. Masalahnya, sebagaimana komoditas pangan lainnya, perikanan melibatkan puluhan ribu pekerja baik di hulu maupun hilir. Ini merupakan tantangan berat bagi pelaku usaha dan industri di dalam mendisiplinkan para pekerjanya, apatah lagi dengan ditambah dengan protokol kesehatan untuk mencegah merebaknya Covid19 di antara para pekerja. Di sub sektor perikanan tangkap (laut) penerapan protokol kesehatan menjadi tantangan tersendiri mengingat sifat kegiatannya di tengah laut. Para anak buah kapal (ABK) akan bersama-sama berada di kapal penangkap selama jangka waktu yang relatif lama. Ruang kerja dan ruang tidur yang terbatas menyebabkan potensi kontak fisik sangat tinggi. 

Di Amerika yang penerapan regulasinya lebih tertib-pun sempat kecolongan. Belum lama ini, 92 dari 126 ABK kapal American Dinasty milik perusahaan American Seafoods dilaporkan sakit menjelang mendarat di pelabuhan Washington dan dinyatakan positif Covid19 setelah dites di darat. Kasus ini juga terjadi di 2 kapal penangkap ikan lainnya di perusahaan yang sama. Beberapa kasus juga telah dilaporkan di perusahaan sejenis. Protokol kesehatan yang telah dijalankan ternyata dipandang tidak mencukupi. Alih-alih 14 hari karantina, ABK yang menunjukkan hasil positif uji cepat hanya dikarantina selama 5 hari. 

Di Indonesia memang belum ada laporan mengenai ABK yang tertular Covid19 sebelum atau sesudah berlayar. Bisa jadi memang tidak ada, atau bisa jadi tidak pernah dilakukan pengujian. Meskipun demikian, sudah selayaknya Otoritas Pelabuhan Perikanan membuat prosedur yang mewajibkan ABK menjalani tes cepat Covid19 sebelum berlayar. ABK yang reaktif tidak diperkenankan berangkat dan harus menjalani karantina mandiri atau tes lanjutan. Ini tentu bukan perkara yang mudah dan membutuhkan kedisiplinan pelaku usaha sebagai pemilik kapal maupun ketegasan petugas di lapangan. Belum lagi bila kita memasukkan perahu nelayan berskala kecil yang banyak terlewat dari pemantauan petugas. Perilaku masyarakat di sekitar Pelabuhan Perikanan-pun menunjukkan keprihatinan. 

Awal bulan ini sebuah berita di satu stasiun televisi (berita sore TransTV) menayangkan kerumunan penjual dan pembeli ikan di salah satu Pelabuhan Perikanan yang ada di Situbondo, Jawa Timur, propinsi yang sampai artikel ini ditulis masih menunjukkan laju kenaikan tertinggi penderita Covid19. Di tayangan terlihat jelas mereka tidak mengenakan masker sama sekali, berkerumun bahkan saling berdesakan membeli ikan dan tidak tampak petugas pelabuhan menertibkan. Hal ini tentu tidak akan terjadi manakala ada prosedur protokol kesehatan yang ditegakkan bagi siapapun yang memasuki kawasan pelabuhan. Untuk perikanan budidaya, baik di tambak maupun di kolam, setidaknya protokol masih lebih mudah ditegakkan. Unit budidaya biasanya tertutup atau terbatas bagi orang luar, walaupun kalau panen terkadang ada saja masyarakat yang masuk dan berebut sisa-sisa panen. 

 Unit Pengolahan Ikan merupakan tempat kerumunan pekerja yang cukup besar. Tidak sedikit UPI yang mempunyai pekerja dalam jumlah ratusan orang per shift. Dari aspek sanitasi dan higiena, UPI merupakan yang terbaik, apalagi UPI yang usdah mendapatkan SKP dan/atau HACCP. Prosedurnya tersusun baik dan penegakannya juga bagus. Meskipun demikian, UPI bisa menjadi satu klaster sumber penularan manakala protokol kesehatan tidak ditegakkan melengkapi prosedur sanitasi dan higiena yang telah ada. Terlebih lagi, pihak perusahaan tidak bisa memonitor keseharian para pekerja manakala sudah kembali ke rumah masing-masing. Protokol kesehatan yang perlu mendapat perhatian adalah pengukuran suhu setiap masuk dan pulang kerja, uji cepat deteksi Covid19 secara berkala serta pengurangan jumlah pekerja setiap shift-nya untuk mengurangi kepadatan di dalam pabrik. Tentu hal yang terakhir ini berat bagi pengusaha karena pasti akan mengurangi produksi. Meskipun demikian, ini tentu lebih baik daripada perusahaan harus diliburkan untuk 2-4 pekan gegara ada sejumlah pekerja yang positif Covid19, sebagaimana pernah dialami perusahaan rokok terkenal di Jawa Timur. Ditutupnya perusahaan pengolahan ikan karena ada pekerja yang tertular Covid19 tentu tidak dikehendaki dan bisa menjadi iklan buruk di pasar luar negeri mengingat produk olahan ikan kita banyak diekspor. 

 Mata rantai terakhir dari pasokan ikan adalah retailer atau toko atau bahkan lapak ikan segar di pasar tradisional maupun pasar modern dan pasar ikan higienis yang banyak dibangun oleh KKP. Sanitasi dan higiene maupun penerapan protokol kesehatan di tempat-tempat ini tentu bevariasi dan sangat tergantung kepada pengelola. Yang perlu mendapat perhatian lebih adalah pasar tradisional. Fakta dan berita di media menunjukkan bahwa kedisiplinan di tempat ini adalah yang paling rendah, termasuk di lapak ikannya. Maka pengelola atau pemerintah kota/kabupaten perlu melakukan upaya yang lebih keras. 

 Dari ke semuanya, tentu kita boleh berharap bahwa era new normal ini dapat mengembalikan perikanan ke posisi semula sebelum terjadinya pandemi Covid19. Kunci utama untuk kembali ke posisi tersebut adalah kedisiplinan para pelaku usaha dan masyarakat dalam menegakkan protokol kesehatan yang ditetapkan. Peran utama pemerintah adalah memastikan semua itu bisa terlaksana. Edukasi harus tetap diberikan kepada semua pihak untuk meyakinkan bahwa semuanya itu semata untuk kesehatan masyarakat dan tentu saja kesehatan usaha atau industri perikanan. Kita tidak pernah tahu apakah new normal ini akan kembali ke old normal, ataukah ia akan menjadi normal yang justru abnormal dan harus kita jalani terus menerus pada masa mendatang. 

Dimuat di Majalah TrobosAqua edisi Juni-Juli 2020

Selasa, 26 Oktober 2021

Perikanan, SDG dan Pilpres 2019

Sustainable Development Goals (SDG) merupakan arah pembangunan limabelas tahun ke depan yang disepakati oleh 193 pemimpin dunia pada sidang PBB bulan September 2015. SDG diberlakukan mulai 1 Januari 2016, dan disusun sebagai kelanjutan dari Millenium Development Goals (MDG) dengan lebih fokus kepada pengentasan kemiskinan, pengurangan ketidaksetaraan dan perlindungan planet (bumi). Terdapat 17 Goal, 169 Target dan 241 Indikator dalam SDG, sedangkan  laut dan perikanan dimasukkan ke dalam goal ke 14 (SDG 14: Kehidupan di Bawah Air) dengan 10 target dan 10 indikator. Goal ke 14 dari SDG adalah Pelestarian & Pemanfaatan Berkelanjutan Ekosistem Laut (to conserve and sustainably use the oceans, seas and marine resources for the sustainable development). Di Indonesia, SDG dilaksanakan melalui Perpres No. 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian TPB, dikoordinasikan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas.

Perikanan di Indonesia telah memegang peranan penting di dalam berbagai sektor kehidupan. Peran penting tersebut utamanya adalah ketahanan pangan, mata pencaharian dan devisa ekspor. Sebagai bahan pangan, ikan terbukti memberikan sumbangan yang tidak kecil dari sisi kuantitas maupun manfaatnya. Tingkat konsumi ikan secara nasional pada tahun lalu berada pada kisaran 50 kg/kap/tahun. Angka ini sudah hampir sebanding bahkan melebihi angka konsumsi di negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Thailand.

Sumber protein kita umumnya berasal dari daging, ikan dan telur (hewani) serta kacang-kacangan, khususnya kedele (nabati). Data Susenas menunjukkan bahwa secara konsisten ikan merupakan penyumbang protein utama bagi penduduk Indonesia, berkisar antara 43-47%. Sedangkan bila dihitung terhadap protein hewani, maka kontribusi ikan sebesar 54-60%. 

Kandungan nilai gizi ikan (terutama protein dan asam lemak omega 3) telah diakui oleh para ahli di dunia. Berbagai  studi menunjukkan bahwa kecerdasan anak semakin tinggi bila ibunya banyak mengonsumsi ikan selama masa kehamilan. Selain itu kita telah sering mendengar bahwa pada bangsa yang banyak mengonsumsi ikan (Jepang, Eskimo) prevalensi terhadap hipertensi dan penyakit jantung relatif rendah. Ikan adalah makanan yang sehat dan menyehatkan.

Perikanan sebagai salah satu hasil laut, telah menjadi tumpuan kehidupan masyarakat pesisir selama berabad-abad. Pada tahun 2018 diperkirakan sekitar 12  juta orang terlibat dalam perikanan (tangkap, budidaya, pengolah dan pemasar). Dengan asumsi satu tenaga kerja menanggung 2 jiwa, maka lebih dari 36 juta jiwa bergantung pada perikanan atau sekitar 15% dari jumlah penduduk. Produksi perikanan (tangkap dan budidaya) pada tahun 2018 diperkirakan mencapai 12 juta ton ikan (tidak termasuk rumput laut), sedangkan sebagai sumber devisa, ekspor perikanan tahun lalu diklaim sekitar USD 5 milyar.

Melihat angka-angka di atas, maka di dalam mencapai SDG 14, pelestarian dan pemanfaatan ekosistem laut harus memperhatikan sisi sosial-ekonomi pemangku kepentingan perikanan. Dengan kata lain, peran ekosistem laut sebagai penopang ketahanan pangan, mata pecaharian dan sumber devisa harus tetap dipertahankan tanpa mengorbankan kelestariannya. Atau sebaliknya, memperhatikan kelestarian tidak bisa serta merta mengorbankan kepentingan pemangku kepentingan, utamanya mereka yang penghidupannya bergantung pada perikanan. Hanya dengan mempertahankan peran penting tersebut-lah maka cita-cita Laut Sebagai Masa Depan Bangsa dapat dicapai. 

Kebijakan yang diambil Pemerintah saat ini mencakup tiga pilar yaitu Kedaulatan, Keberlanjutan dan Kesejahteraan. Tidak ada yang salah dengan kebijakan ini, namun keseimbangan di antara ketiganya, terutama yang kedua dan ketiga harus dijaga agar tidak saling bertabrakan. Pengaturan keseimbangan ini seharusnya bernuansa pada dua dimensi yaitu (1) Meningkatkan dan mempertahankan kualitas daya dukung dan kelestarian fungsi lingkungan laut; serta (2) Meningkatkan harkat hidup nelayan dan masyarakat pesisir. 

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa laut dan pesisir merupakan ekosistem yang multifungsi sekaligus multisektor dalam pengelolaannya. Maka prinsip-prinsip yang dipilih dalam SDG merupakan prinsip yang harus juga diterapkan dalam pengelolaan laut dan pesisir di Indonesia. SDG mengamanahkan 5 prinsip dalam pelaksanaannya, tiga di antaranya sangat relevan untuk disampaikan di sini yaitu terintegrasi dan saling terkait pada semua dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan; tidak mengabaikan satu pihak-pun (harus bermanfaat bagi semua) dan kemitraan multi sektor.  

Pengelolaan laut dan pesisir di Indonesia sampai saat ini masih egosektoral, tidak terintegrasi dan lemah koordinasi. Akibatnya, pemangku kepentingan yang rentan yaitu para nelayan (dan pembudidaya kecil) serta masyarakat pesisir sering menjadi korban dan secara terpaksa harus tersingkir dari penghidupan yang telah digeluti selama puluhan tahun karena ketidakberdayaan. Hal ini masih diperparah dengan dampak perubahan iklim yang telah muncul di berbagai tempat dengan tingkat kegawatan yang bervariasi. Ketika tulisan ini diturunkan, hasil Pemilihan Presiden 2019 belum diketahui. Namun siapapun pemenang Pilpres 2019, kepadanya keberpihakan dan komitmen terhadap kelompok yang rentan ini harus ditagihkan, seraya menyelamatkan ekosisitem laut dan pesisir untuk generasi yang akan datang.


Dimuat di Majalah TrobosAqua April-Mei 2019


Perikanan di era Industri 4.0

Kanselir Jerman, Angela Merkel (2014)  mendefinisikan Industri 4.0 sebagai transformasi komprehensif dari keseluruhan aspek produksi di industri melalui penggabungan teknologi digital dan internet dengan industri konvensional. Di era Industri 4.0 unsur kecepatan informasi menjadi penting, dan seluruh entitas dalam lingkungan industri akan selalu terhubung dan saling berbagi informasi..

Berbeda dari tiga tahap revolusi sebelumnya, Industri 4.0 lebih memberikan tantangan bagi kemanusiaan yaitu mulai berkurangnya peran manusia dalam industri, dan digantikan oleh teknologi virtual maupun fisikal. Dengan istilah yang lebih teknikal, Industri 4.0 adalah integrasi dua hal yaitu Cyber-Physical System (CPS) dan Internet of Things and Services (IoT dan IoS) dalam proses industri meliputi manufaktur dan logistik serta proses lainnya. CPS adalah teknologi untuk menggabungkan antara dunia nyata dengan dunia maya. 

Industri 4.0 telah dan akan membawa perubahan cara hidup, kerja dan relasi antara manusia secara eksponensial. Disrupsi industri telah terjadi di berbagai negara dan menciptakan perubahan yang masif secara non linier dengan kecepatan luar biasa. Pada saat yang sama, banyak negara yang belum dapat merasakan kemajuan industri sebelumnya. Misalnya 17% penduduk dunia (hampir 1,3 miliar) belum memilliki listrik yang merupakan Industri 2.0, sedangkan sekitar separuh penduduk dunia belum melek internet (Industri 3.0). Industri 1.0 memerlukan waktu hampir 120 tahun untuk menjalar ke luar Eropa namun teknologi internet hanya memerlukan satu dekade saja untuk mengglobal. Bila tidak siap, Indonesia bisa menjadi korban Industri 4.0

Perikanan merupakan kegiatan ekonomi pangan yang mengandalkan sumberdaya. Perikanan berperan penting dalam ketahanan pangan dan jutaan orang bergantung kehidupanya padanya. Keterlibatan UMKM juga merupakan ciri utama perikanan Indonesia. Di samping itu, perikanan menjadi salah satu komoditas penghasil devisa yang cukup penting. Tahun 2018 nilai ekspor perikanan diklaim mencapai USD 5 miliar.  Menghadapi Industri 4.0, perikanan Indonesia perlu berbenah sehingga tidak menjadi penonton.

Pasar perikanan di dunia bergerak dengan dinamika yang tinggi yang membutuhkan respon cepat dan tepat. Negara pesaing memperebutkan pasar tradisional yang jumlahnya tidak banyak berubah namun tuntutannya semakin tinggi, baik dari sisi kualitas maupun keamanan pangan. Sebagaimana disebutkan di atas, di era ini kecepatan informasi adalah penting dan untuk itu mutlak diperlukan kemampuan mencerna tuntutan pasar dengan fasilitas teknologi baik virtual maupun fisikal. Seluruh bagian harus bergerak dengan cerdas dan terkoneksi dan secara sistemik menarik sisi hulu untuk bergerak. Ke-terkoneksi-an antara hulu, proses dan hilir dalam satu kesisteman merupakan satu keharusan. Industri harus mulai memikirkan investasi baru di bidang infrastruktur untuk mendukung hal tersebut dan meningkatkan kapabilitas analisis data. 

Permasalahan utama yang dihadapi adalah penyediaan teknologi/infrastuktur beserta sumberdaya manusianya.  Selain itu, kecepatan pergerakan pasar tidak selalu dapat diimbangi oleh sisi hulu sebagai penyedia bahan baku. Perikanan tangkap yang bersifat musiman menjadi kendala tersendiri, belum lagi masalah kelestarian sumberdaya dan lingkungannya. Informasi ketersediaan ikan dan lokasinya menjadi sangat penting. Sementara itu, perikanan budidaya masih dihadapkan dengan masalah benih, pakan dan penyakit. Inovasi teknologi dan efisiensi menjadi kunci utama. 

Di sisi lain, Pemerintah berkewajiban menyediakan bimbingan adopsi teknologi baru, terutama yang bersifat kekinian dan dibutuhkan, termasuk teknologi finansial dan akses pasar untuk masuk era Industri 4.0 bagi UMKM. Sedangkan bagi industri besar, regulasi yang tidak berubah-ubah dan memberi kemudahan dan kepastian berusaha tentu sangat diharapkan.  Kebiasaan “Ganti rejim ganti peraturan” sudah semestinya ditinggalkan. Dan ini sangat terasa di dunia perikanan kita. Salah satu contohnya adalah kebijakan Ekonomi Biru yang sudah mulai kehilangan gaungnya, padahal sistem pendekatan Ekonomi Biru untuk memanfaatkan sumberdaya laut merupakan amanah UU no 32 tahun 2014 tentang Kelautan. 

Memasuki era Industri 4.0, pengelolaan rantai pasok perikanan berbasis pemanfaatan teknologi dijital dan internet adalah penting mengingat karakteristik geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Pemerintah perlu mengambil peran utama dalam penyediaan berbagai fasilitas untuk mendukungnya, termasuk infrastruktur dan regulasi. Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) yang telah diinisiasi sebenarnya merupakan langkah benar yang telah diambil dan pada saatnya harus dikembangkan menjadi Sistem Pengelolaan Rantai Pasok, yang di dalamnya SLIN menjadi salah satu bagian penting. Di sini, pemerintah harus bisa berperan sebagai penyedia dan pengelola Big Data bagi perikanan Indonesia yang dengannya pelayanan dapat diberikan kepada pelaku usaha. Big Data perikanan sebagai salah satu atribut Industri 4.0 dapat menyediakan sekaligus bebagai data penting mutakhir antara lain potensi sumberdaya ikan, rona lingkungan, konsumen dan pasar.  SLIN sebenarnya bisa menjadi langkah awal untuk menginisiasi Big Data perikanan, sayangnya ia masih belum beranjak jauh dan terkesan jalan di tempat.


Dimuat di Majalah TrobosAqua edisi Jauari-Februari 2019


Memperkuat Jaminan Mutu Hasil Perikanan

Pangan yang aman, sehat dan berkualitas telah menjadi tuntutan konsumen, utamanya di pasar internasional yang persyaratannya semakin ketat. ...