Pangan yang aman, sehat dan berkualitas telah menjadi tuntutan konsumen, utamanya di pasar internasional yang persyaratannya semakin ketat. Untuk memenuhi tuntutan itu, diperlukan berbagai upaya untuk menjamin mutu dan keamanan pangan yang melibatkan semua pihak di sepanjang rantai pasok pangan. Dengan kata lain, jaminan mutu dan keamanan pangan merupakan tanggungjawab semua pemangku kepentingan di bidang pangan, sesuai dengan perannya masing-masing. Pelaku usaha dituntut menyediakan pangan yang berkualitas, sehat dan aman, sedangkan pemerintah berkewajiban menjamin terwujudnya penyelenggaraan keamanan pangan di sepanjang rantai pangan.
Berdasarkan Undang-undang no 18 tahun 2012 tentang Pangan, dan Peraturan Pemerintah no 86 tahun 2019 tentang Keamanan Pangan, kementerian teknis seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mempunyai kewenangan pengawasan pangan segar. Sedangkan untuk pangan olahan kewenangan tersebut berada pada Badan Pengawasan Obat dan Makanan; dan Kementerian Perindustrian. Namun berdasarkan UU no 45 tahun 2009 tentang Perikanan, KKP mendapatkan kewenangan untuk mengatur perikanan dalam satu kesatuan bisnis hulu-hilir, termasuk jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan. Kewenangan ini telah diturunkan menjadi berbagai regulasi, dalam bentuk Peraturan Pemerintah sampai Peraturan atau Keputusan Direktur Jenderal dan Kepala Badan.
Penjaminan mutu dan keamanan hasil perikanan merupakan satu kesatuan sistem dan tidak bisa ditegakkan secara parsial. Di KKP, kewenangan ini berada pada Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan sebagai Otoritas Kompeten (OK) yang ditunjuk oleh Menteri. Sesuai dengan struktur OK, hanya ada 3 eselon 1 yang menjadi komponen utama, yaitu BKIPM sebagai Manajer Puncak, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) dan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) masing-masing sebagai Manajer Teknis di bidang Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya. Dalam hal pengendalian, ketiganya mendapat kewenangan menerbitkan sertifikat. DJPT menerbitkan sertifikat terkait dengan perikanan tangkap, DJPB terkait dengan perikanan budidaya, sedangkan BKIPM untuk pengolahan.
Bila merujuk kepada struktur KKP, sebenarnya terdapat 3 eselon satu yang langsung bertanggung jawab untuk menjamin kualitas dan keamanan ikan dan produknya, sesuai dengan kewenangannya masing-masing, yaitu DJPT, DJPB dan Ditjen Penguatan Daya Saing Produksi Kelautan dan Perikanan (DJPDS). Meskipun demikian, DJPDS tidak dimasukkan dalam struktur OK dan dengan demikian tidak diberi kewenangan menerbitkan sertifikat pengendalian. DJPDS hanya berwenang menerbitkan Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) yang dianggap bukan bagian dari pengendalian, meskipun SKP merupakan prasyarat diterbitkannya sertifikat Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) oleh BKIPM. Selanjutnya, sertifikat HACCP digunakan sebagai syarat penerbitan Sertifikat Kesehatan (Health Certificate/HC) untuk ekspor yang juga oleh BKIPM. Keadaan ini telah menyebabkan kurang harmonisnya hubungan antara BKIPM dan DJPDS, yang terkadang membawa implikasi terhadap lambatnya pelayanan sebagaimana dikeluhkan oleh pelaku usaha.
Hal di atas juga dicermati oleh Program GQSP (Global Quality and Standards Programme) SMART-Fish 2, yang dilaksanakan atas kerjasama antara UNIDO (United Nations Industrial Development Organization) dan KKP. Melalui kajian peraturan perundang-undangan yang ada serta mempertimbangkan ketentuan dan standar international, SMART-Fish 2 telah menyusun Concept Note yang berisi sejumlah rekomendasi untuk menyelaraskan dan menyederhanakan sistem jaminan mutu untuk meningkatkan transparansi dan pelayanan kepada pelaku usaha. Rekomendasi dan saran-saran yang disampaikan antara lain melengkapi struktur organisasi OK dengan memasukkan DJPDS sebagai Manager Teknis di bidang Pengolahan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Untuk mempercepat pelayanan, maka penerbitan SKP dan HACCP dapat dilakukan oleh satu instansi yang sama. Apabila dipandang memenuhi syarat, maka UPI bisa langsung memperoleh sertifikat HACCP tanpa harus melalui sertifikasi SKP. Sederhananya begini: UPI yang akan mengajukan sertifikasi HACCP diberi pilihan apakah akan melakukan sertifikasi bertahap melalui SKP atau langsung HACCP. Selanjutnya dilakukan penilaian untuk sertifikasi oleh OK sesuai dengan pilihannya tersebut.
SMART-Fish 2 juga menyarankan perlunya peningkatan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan, yaitu melalui pendelegasian kewenangan sertifikasi kepada pihak ketiga (3rd party certification). Tentu saja pihak ketiga tersebut harus memenuhi persyaratan antara lain terakreditasi sebagai Lembaga Penilai Kesesuaian (LPK) oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan persyaratan lain yang ditentukan KKP. Penilaian kesesuaian oleh pihak ketiga ini dapat menimbulkan tambahan biaya, namun bila ini berdampak positif terhadap kecepatan dan kemudahan pelayanan, maka pelaku usaha besar tentu tidak akan berkeberatan. Alternatif lainnya adalah Unit Pelaksana Teknis KKP ditingkatkan menjadi LPK terakreditasi untuk melayani pelaku usaha kecil dengan biaya yang minimal atau bahkan ditanggung negara. Adanya 3rd party certification ini dapat mengurangi beban kerja pemerintah, meminiminalkan konflik kepentingan dan menambah kepercayaan pasar.
Percepatan pelayanan dapat juga diselenggarakan dengan diterapkannya penilaian/sertifikasi berbasis risiko (risk based assessment/certification). Hal ini mengingat bahwa produk perikanan mempunyai risiko yang tidak sama terhadap kesehatan. Ada yang risikonya memang tinggi, misalnya produk siap saji atau ready to eat product, namun ada juga yang risikonya rendah misalnya rumput laut kering. Dengan semakin perlunya kecepatan dan ketepatan dalam proses sertifikasi, maka sistem penilaian (assessment) yang berbasis risiko ini bisa menjadi salah satu pilihan. Manfaat lainnya adalah sumber daya (infrastruktur mutu dan staf) yang terbatas di KKP bisa lebih diarahkan untuk pengawasan secara ketat terhadap produk yang berisiko tinggi.
Ketersediaan standar dan perkembangan teknologi informasi telah memberikan peluang bagi KKP untuk mengembangkan sertifikasi dan penilaian jarak jauh (remote certification/assessment). Remote assessment ini tidak hanya bisa dilakukan selama pandemic COVID 19 tetapi juga di masa normal untuk UPI di lokasi terpencil, produknya berisiko rendah atau yang sudah memiliki reputasi yang baik. Selain meningkatkan pelayanan, ini akan menghemat sumberdaya yang ada di KKP baik dari segi anggaran maupun sumbedaya manusia.
Selain itu KKP juga perlu mempertimbangkan pengakuan terhadap sistem jaminan mutu global lain yang setara dengan atau bahkan lebih tinggi dari HACCP (ISO dll). Misalnya, bagi perusahaan yang sudah mendapatkan sertifikat ISO 22000 sesuai permintaan pembeli, maka pihak KKP tidak perlu lagi melakukan penilaian HACCP, dan tinggal menerbitkan HC-nya untuk keperluan ekspor, karena di dalam ISO 22000 sudah tercakup HACCP.
Jaminan mutu dan keamanan pangan akan semakin kuat bila didukung dengan implementasi sistem ketertelusuran (traceability). Penulis telah menggaungkan sistem ini sejak 2007 (http://achpoer.blogspot.com/2007/12/menuju-jaminan-keamanan-pangan-produk.html) namun di Indonesia baru mendapatkan momentumnya ketika Presiden Obama membentuk Task Force on Combating IUU Fishing and Seafood Fraud pada bulan Juni 2014, yang kemudian diikuti dengan diberlakukannya Seafood Import Monitoring Program (SIMP) sejak Januari 2018. SIMP mewajibkan ketertelusuran sejumlah ikan dan produknya (termasuk udang) yang masuk Amerika. Sebelum SIMP diberlakukan, Amerika melalui USAID telah memberikan bantuan program kepada beberapa negara eksportir, untuk memperkuat sistem ketertelusuran dan pelaksanaannya di negara masing-masing. Di Indonesia, salah satu hasilnya adalah Sistem Telusur dan Logistik Ikan Nasional (Stelina) yang dikembangkan bersama KKP. Sistem ini sangat baik namun sampai sekarang belum mempunyai payung hukum untuk pelaksanaannya.
Dari semua hal di atas, maka yang terpenting adalah komitmen untuk berubah demi pelayanan yang prima kepada para pelaku usaha. Komitmen tesebut bisa dimulai dengan mereviu dan menyusun kembali beberapa regulasi terkait serta menghilangkan hambatan yang ada, termasuk hambatan komunikasi di lingkup KKP maupun dengan para pelaku usaha. Semangat peningkatan pelayanan yang merupakan salah satu dasar pembentukan Undang-Undang no 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja harus menjiwai perubahan tersebut.