Kanselir Jerman, Angela Merkel (2014) mendefinisikan Industri 4.0 sebagai transformasi komprehensif dari keseluruhan aspek produksi di industri melalui penggabungan teknologi digital dan internet dengan industri konvensional. Di era Industri 4.0 unsur kecepatan informasi menjadi penting, dan seluruh entitas dalam lingkungan industri akan selalu terhubung dan saling berbagi informasi..
Berbeda dari tiga tahap revolusi sebelumnya, Industri 4.0 lebih memberikan tantangan bagi kemanusiaan yaitu mulai berkurangnya peran manusia dalam industri, dan digantikan oleh teknologi virtual maupun fisikal. Dengan istilah yang lebih teknikal, Industri 4.0 adalah integrasi dua hal yaitu Cyber-Physical System (CPS) dan Internet of Things and Services (IoT dan IoS) dalam proses industri meliputi manufaktur dan logistik serta proses lainnya. CPS adalah teknologi untuk menggabungkan antara dunia nyata dengan dunia maya.
Industri 4.0 telah dan akan membawa perubahan cara hidup, kerja dan relasi antara manusia secara eksponensial. Disrupsi industri telah terjadi di berbagai negara dan menciptakan perubahan yang masif secara non linier dengan kecepatan luar biasa. Pada saat yang sama, banyak negara yang belum dapat merasakan kemajuan industri sebelumnya. Misalnya 17% penduduk dunia (hampir 1,3 miliar) belum memilliki listrik yang merupakan Industri 2.0, sedangkan sekitar separuh penduduk dunia belum melek internet (Industri 3.0). Industri 1.0 memerlukan waktu hampir 120 tahun untuk menjalar ke luar Eropa namun teknologi internet hanya memerlukan satu dekade saja untuk mengglobal. Bila tidak siap, Indonesia bisa menjadi korban Industri 4.0
Perikanan merupakan kegiatan ekonomi pangan yang mengandalkan sumberdaya. Perikanan berperan penting dalam ketahanan pangan dan jutaan orang bergantung kehidupanya padanya. Keterlibatan UMKM juga merupakan ciri utama perikanan Indonesia. Di samping itu, perikanan menjadi salah satu komoditas penghasil devisa yang cukup penting. Tahun 2018 nilai ekspor perikanan diklaim mencapai USD 5 miliar. Menghadapi Industri 4.0, perikanan Indonesia perlu berbenah sehingga tidak menjadi penonton.
Pasar perikanan di dunia bergerak dengan dinamika yang tinggi yang membutuhkan respon cepat dan tepat. Negara pesaing memperebutkan pasar tradisional yang jumlahnya tidak banyak berubah namun tuntutannya semakin tinggi, baik dari sisi kualitas maupun keamanan pangan. Sebagaimana disebutkan di atas, di era ini kecepatan informasi adalah penting dan untuk itu mutlak diperlukan kemampuan mencerna tuntutan pasar dengan fasilitas teknologi baik virtual maupun fisikal. Seluruh bagian harus bergerak dengan cerdas dan terkoneksi dan secara sistemik menarik sisi hulu untuk bergerak. Ke-terkoneksi-an antara hulu, proses dan hilir dalam satu kesisteman merupakan satu keharusan. Industri harus mulai memikirkan investasi baru di bidang infrastruktur untuk mendukung hal tersebut dan meningkatkan kapabilitas analisis data.
Permasalahan utama yang dihadapi adalah penyediaan teknologi/infrastuktur beserta sumberdaya manusianya. Selain itu, kecepatan pergerakan pasar tidak selalu dapat diimbangi oleh sisi hulu sebagai penyedia bahan baku. Perikanan tangkap yang bersifat musiman menjadi kendala tersendiri, belum lagi masalah kelestarian sumberdaya dan lingkungannya. Informasi ketersediaan ikan dan lokasinya menjadi sangat penting. Sementara itu, perikanan budidaya masih dihadapkan dengan masalah benih, pakan dan penyakit. Inovasi teknologi dan efisiensi menjadi kunci utama.
Di sisi lain, Pemerintah berkewajiban menyediakan bimbingan adopsi teknologi baru, terutama yang bersifat kekinian dan dibutuhkan, termasuk teknologi finansial dan akses pasar untuk masuk era Industri 4.0 bagi UMKM. Sedangkan bagi industri besar, regulasi yang tidak berubah-ubah dan memberi kemudahan dan kepastian berusaha tentu sangat diharapkan. Kebiasaan “Ganti rejim ganti peraturan” sudah semestinya ditinggalkan. Dan ini sangat terasa di dunia perikanan kita. Salah satu contohnya adalah kebijakan Ekonomi Biru yang sudah mulai kehilangan gaungnya, padahal sistem pendekatan Ekonomi Biru untuk memanfaatkan sumberdaya laut merupakan amanah UU no 32 tahun 2014 tentang Kelautan.
Memasuki era Industri 4.0, pengelolaan rantai pasok perikanan berbasis pemanfaatan teknologi dijital dan internet adalah penting mengingat karakteristik geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Pemerintah perlu mengambil peran utama dalam penyediaan berbagai fasilitas untuk mendukungnya, termasuk infrastruktur dan regulasi. Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) yang telah diinisiasi sebenarnya merupakan langkah benar yang telah diambil dan pada saatnya harus dikembangkan menjadi Sistem Pengelolaan Rantai Pasok, yang di dalamnya SLIN menjadi salah satu bagian penting. Di sini, pemerintah harus bisa berperan sebagai penyedia dan pengelola Big Data bagi perikanan Indonesia yang dengannya pelayanan dapat diberikan kepada pelaku usaha. Big Data perikanan sebagai salah satu atribut Industri 4.0 dapat menyediakan sekaligus bebagai data penting mutakhir antara lain potensi sumberdaya ikan, rona lingkungan, konsumen dan pasar. SLIN sebenarnya bisa menjadi langkah awal untuk menginisiasi Big Data perikanan, sayangnya ia masih belum beranjak jauh dan terkesan jalan di tempat.
Dimuat di Majalah TrobosAqua edisi Jauari-Februari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar