Kamis, 28 Februari 2013

Iptek Kelautan dan Perikanan


Pemanfaatan iptek kelautan dan perikanan dapat meningkatkan wawasan politik bangsa

Kondisi geografis Indonesia selain membawa berbagai keuntungan, dari sudut pandang perekonomian dan geopolitik, namun juga membawa  kerawanan intrinsik. Peluang yang ada dapat berasal dari global, regional, dan nasional. Geografis Indonesia terletak pada posisi silang yang menguntungkan bagi interaksi antar negara. Kondisi geografis Indonesia tersebut,  selain membawa berbagai keuntungan, dari sudut pandang perekonomian dan geopolitik, namun juga membawa  kerawanan. Posisi silang di antara dua benua dan dua samudera besar menyebabkan kondisi politik, ekonomi, dan keamanan di tingkat regional dan global menjadi faktor yang berpengaruh terhadap kondisi Indonesia. Dalam era globalisas ini, perkembangan lingkungan strategis regional dan global tersebut dapat semakin menguat karena semakin terbukanya Indonesia, sehingga menyebabkan mudah merasuk dan diterimanya nilai-nilai universal seperti perdagangan bebas, demokratisasi, serta hak asasi dan lingkungan hidup.
Meskipun demikian, harus pula diingat bahwa dari sisi geografis dan demografis Indonesia dapat menjadi salah satu pasar yang sangat potensial bagi perkembangan ekonomi dan industri dunia. Kenyataan di atas menghajatkan  pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan bertanggungjawab dengan penyediaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sumberdaya manusia yang unggul dan mampu bersaing.
Apalagi bila mengingat bahwa dalam pengembangan teknologi sebagai pendorong knowledge economy, Indonesia belum menunjukkan kondisi yang menggembirakan. Menurut Prof Zuhal, Ketua Komite Inovasi Nasional, Indonesia memacu pertumbuhan ekonomi dengan mengeksploitasi dan mengekspor sumberdaya primer, tanpa menciptakan nilai tambah dengan menerapkan inovasi teknologi dari hasil-hasil riset dalam negeri, bahkan disinyalir hanya 5,7% pertumbuhan ekonomi Indonesia dipicu oleh inovasi teknologi, sementara di negara lain dapat mencapai 20% (Kompas, 20 Oktober 2010). Karena itu, peran pembangunan dan pengembangan sains dan teknologi mutlak penting sebagai salah satu faktor determinan untuk menang dalam era globalisasi ini.
Sumberdaya kelautan dan perikanan  Indonesia merupakan sumberdaya yang melimpah yang luar biasa  manakala dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk dapat berperan dalam persaingan global yang semakin ketat. Menurut Dahuri (2011) Laut Indonesia mempunyai potensi total ekonomi mencapai USD800 miliar (Rp7.200 triliun) per tahun. Angka ini merupakan lebih dari enam kali lipat APBN 2011 atau satu setengah kali PDB saat ini. Lebih lanjut Dahuri (2011) menyatakan bahwa kesempatan kerja yang dapat dibangkitkan oleh sektor kelautan dapat mencapai sekitar 40 juta orang.
Bagi bangsa Indonesia laut mempunyai arti penting, yang menurut Muladi (2009), arti penting tersebut utamanya berkisar pada tiga spektrum besar, yaitu sebagai sumber nafkah, sebagai perekat yang menghubungkan seluruh pulau dalam NRI, dan sebagai medium pertahanan nasional.
Dengan memperhatikan kondisi geografi tersebut, maka  geostrategi Indonesia telah diwujudkan melalui konsep Ketahanan Nasional yang bertumbuh pada perwujudan kesatuan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Dengan mengacu pada kondisi geografi bercirikan maritim, maka diperlukan strategi besar (grand strategy) maritim sejalan dengan doktrin pertahanan defensif aktif dan fakta bahwa bagian terluar wilayah yang harus dipertahankan adalah laut. Implementasi dari strategi maritim adalah mewujudkan kekuatan maritim (maritime power) yang dapat menjamin kedaulatan dan integritas wilayah dari berbagai ancaman.
Selain itu, bentuk kepulauan Indonesia menjadikan garis pantai yang panjang namun belum didukung dengan keamanan yang baik, masalah perbatasan dan pencurian kekayaan laut juga masih marak. Di lain pihak, iptek juga merupakan salah satu faktor penting dalam menjaga ketahanan nasional. Karena itu, selain diperlukan iptek yang dapat memanfaatkan kekayaan sumberdaya kelautan dan perikanan, juga diperlukan iptek yang dapat menjaga sumberdaya itu sendiri, sekaligus menjaga keutuhan bangsa dan negara yang berbentuk kepulauan, sesuai dengan konsepsi ketahanan nasional.
Dengan memperhatikan kondisi geografis, serta konsepsi ketahanan nasional, maka pemanfatan iptek kelautan dan perikanan dengan memperhatikan sifat, tujuan dan manfaatnya, dapat membuka wawasan politik bangsa akan pentingnya negara kepulauan dan pentingnya menjaga keutuhan negara ini, serta mengutamakannya untuk kepentingan bangsa. Dengan pemantapan pemanfaatan iptek yang dilandasai oleh ketahanan nasional yang dinamis, maka wawasan politik bangsa dapat terbuka dan menambah kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

 --o--
 
     Dahuri, R. (2011) Laut dan Daya Saing. Seputar Indonesia, Sabtu, 22 Oktober 2011.
     Muladi, (2009). Geopolitik dalam perspektif Indonesia sebagai Negara Kepulauan. Keynote speech pada Rembug Nasional Kelautan 2009, di Lemhannas RI, Jakarta 26 Februari 2009.

Rabu, 27 Februari 2013

Industri patin: efisiensi dan fokus ke konsumen


Ikan patin merupakan salah satu ikan domestik yang sangat potensial dikembangkan secara massal di Indonesia.  Berbagai upaya telah dilakukan sejak tahun 1980-an, dimulai dari penelitian sampai pengembangan industri hilir akhir-akhir ini. Namun demikian, ternyata potensi tersebut belum dapat diaktualisasikan sebagaimana diharapkan.  Vietnam sebagai negara “patin” di dunia, telah semakin menguasai pasar dunia (termasuk Indonesia), padahal jejak Vietnam dalam industri patin tidak berbeda banyak dengan Indonesia.  Apa masalahnya?
         Sebagaimana galibnya sebuah kegiatan bisnis, industri patin dihadapkan pada beberapa hal pokok, yang pada intinya adalah berkisar di urusan efisiensi dan fokus kepada konsumen.  Pertama adalah bagaimana sebuah industri komoditas hidup seperti patin dapat menekan biaya produksi (dalam hal ini pakan) dengan tidak mengorbankan kualitas. Masalah ini masih belum sepenuhnya teratasi di budidaya patin Indonesia. Biaya pakan masih mahal dan menduduki porsi sampai dengan 70% ongkos produksi, sehingga  ikan patin Indonesia tidak bisa bersaing dengan patin impor (harga patin lokal Rp 12.500-15.000/kg sedangkan patin Vietnam Rp 9.000-10.000/kg).
         Kedua, di dalam mengolah produk biologi seperti patin yang sangat mudah rusak (highly perishable) maka jarak antara sumber bahan baku dan unit pengolahan menjadi sangat penting dalam menjaga kontinyuitas dan kualitas suplai bahan baku. Tahun lalu produksi patin kita sekitar 157 ribu ton, dan 83% diproduksi di Sumatera (terutama Sumatera Selatan dan Riau), dan 10% di Kalimantan. Maka sudah selayaknya industri pengolahan dibangun di Sumatera, bukan di Jawa yang produksinya hanya 8 ribu ton  (saat ini terdapat 7 unit pengolahan di Jawa dengan kebutuhan bahan baku 87 ton per hari). Budidaya dan pengolahan patin harus dapat diintegrasikan.
         Ketiga, di dalam pengolahan filet patin, hanya 30-35% porsi badan yang digunakan, sisanya adalah limbah. Tanpa memanfaatkan limbah yang sedemikian besar, maka semua ongkos produksi akan menjadi beban produk utama. Kembali harga produk akan tidak dapat bersaing. Zero waste product perlu diupayakan.
         Keempat,  berbeda dengan gadget yang akan selalu diserap oleh pasar, komoditas perikanan hanya akan dipilih konsumen bila sesuai dengan seleranya. Maka riset pasar menjadi sangat penting untuk mengetahui selera dan kebutuhan pasar. Know your customer harus dijadikan sikap.
        Empat hal di atas-lah yang menjadi kunci sukses industri patin Vietnam, meskipun diakui ada peran besar pemerintah dalam hal ini, misalnya melalui berbagai subsidi. Kalau dulu mereka belajar dari kita, bahkan konon ikan patin mereka pun dari kita, kini kita-lah yang perlu belajar banyak dari mereka. 

Sampai kapan tergantung pada tepung ikan ?





Pertumbuhan budidaya perikanan telah berlangsung secara luar biasa, baik di dunia maupun Indonesia.  Data resmi terakhir FAO menunjukkan bawah produksi ikan dunia saat ini telah mencapai 145,1 juta ton, yang merupakan peningkatan sebesar sekitar 11,2 juta ton dibandingkan tahun 2005. Selama kurun waktu tersebut produksi perikanan tangkap berada di angka sekitar 90 juta ton per tahun, yang berarti kenaikan produksi lebih banyak ditopang oleh budidaya. 
OECD dan FAO meramalkan bahwa pada tahun 2020 produksi perikanan dunia akan mencapai 164 juta ton, terdiri dari sekitar 90 juta ton perikanan tangkap dan 74 juta ton perikanan budidaya. Input terpenting dalam produksi perikanan budidaya adalah pakan yang bahan baku utamanya adalah tepung ikan yang penggunaannya telah mengalami pergeseran luar biasa. Pada tahun 1960 perikanan budidaya nyaris tidak menggunakan tepung ikan (umumnya digunakan untuk pakan ayam dan babi), namun pada tahun 1980 telah menggunakan 10% dari produksi tepung ikan dunia, menjadi 33% pada 2000, dan melonjak menjadi 73% pada 2010. Angka ini diprediksi akan mencapai 80% di tahun 2012 ini. 
Produksi tepung ikan dunia saat ini berkisar di angka 6-7 juta ton, 4,7-4,8 juta ton di antaranya berasal dari ikan utuh, dengan Peru sebagai produsen utama (sekitar 1,4 juta ton). Selain dari ikan utuh, tepung ikan juga diproduksi dari limbah pengolahan ikan. Produksi tepung ikan tahun ini diperkirakan tidak akan melebihi produksi 2011. China tetap merupakan negara terbesar pengguna tepung ikan dunia, yaitu 1,52 juta ton, mayoritas berasal dari impor (1,3 juta ton). Ini bisa dimaklumi mengingat China sampai saat ini tetap merupakan produsen ikan budidaya terbesar di dunia. Bagaimana dengan Indonesia?
Menurut Gabungan Pengusaha Makanan ternak (GPMT) Indonesia membutuhkan 150rbton tepung ikan setiap tahunnya, dan diprediksi setiap tahunnya mengalami kenaikan 10-15%. Dengan produksi lokal yang hanya sekitar 45rb ton, maka Indonesia harus mengeluarkan devisa yang tidak sedikit untuk mengimpor tepung ikan yang harganya (per 11 Juni 2012) dapat mencapai USD 1400-1500 per ton (FOB, ex Peru). Impor bahan baku pakan ikan (utamanya tepung ikan) setiap tahunnya mencapai 35% dari total impor perikanan.  
Penggunaan ikan tangkap sebagai bahan baku tepung telah lama menjadi kontroversi dan perdebatan oleh para ahli. Tahun lalu ikan laut yang digunakan untuk memproduksi tepung ikan diperkirakan sekitar 21 juta ton. Jumlah ini dipandang terlalu tinggi dan seharusnya bisa dipakai untuk memberi makan jutaan penduduk dunia. Para ahli juga banyak mendiskusikan rasio ikan sebagai bahan pakan dan hasilnya (Fish in Fish out). Dikatakan bahwa penggunaan ikan sebagai bahan pakan ikan adalah tidak efisien, bahkan cenderung merugikan. Kenapa? Karena tidak ada jenis pakan yang menghasilkan ikan dengan bobot yang sama dengan pakan yang digunakan. Artinya 1 kg tepung ikan tidak akan menghasilkan 1 kg ikan (bahkan hanya berkisar 0,1-0,5kg untuk ikan karnivora). Ini dipandang sebagai kerugian, serta dapat membahayakan keberlanjutan (sustainability) perikanan yang digunakan sebagai bahan baku tepung ikan. Penggunaan tepung ikan dalam budidaya perikanan Tentu saja hal ini dibantah oleh pihak industri tepung ikan, yang diwakili oleh International Fishmeal and Fish Oil Organisaton (IFFO). Selain memberikan argumentasi untuk mendukung bahwa efisiensi penggunaan tepung ikan tidak sejelek yang diklaim, IFFO juga membuat skim sertifikasi untuk menjamin bahwa ikan yang digunakan berasal dari perikanan yang dikelola berdasarkan FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries, bukan dari IUU, dan tidak menggunakan limbah dari ikan yang dilindungi, melalui IFFO Global Standard for Responsible Supply. IFFO mengklaim bahwa 27% dari tepung ikan dunia telah lolos standar ini.
Terlepas dari hal di atas, penggunaan ikan utuh untuk memproduksi tepung ikan memang menunjukkan kecenderungan menurun, yang berarti ketersediaan tepung ikan akan tidak mencukupi kebutuhan. Maka cepat atau lambat tepung ikan akan menjadi pembatas dalam perikanan budidaya dan kita akan masuk ke dalam situasi yang oleh para ahli disebut Perangkap Tepung Ikan (Fishmeal Trap). Indonesia yang bertekad meningkatkan perikanan budidaya harus segera mengambil langkah-langkah antisipatif, antara lain:
Pertama budidaya hendaknya tidak difokuskan kepada ikan karnivora atau lebih banyak menggunakan jenis ikan yang tingkat ketergantungannya pada tepung ikan rendah, seperti ikan dengan tingkat trofik rendah. Riset harus dapat menghasilkan jenis ikan unggul seperti ini, serta menghasilkan formula pakan dengan Feed Conversion Ratio (FCR) tinggi. Kedua menyubstitusi tepung dari ikan utuh dengan tepung dari limbah pengolahan ikan dan peternakan, atau sumber protein non konvensional lainnya (tumbuhan, mikrobia, bahkan keong mas). Riset pakan berbahan baku lokal harus lebih fokus dan terintegrasi dengan usaha budidaya itu sendiri. Ketiga budidaya secara organik harus terus dikembangkan dalam skala massal diikuti dengan kampanye efek positif praktik ini terhadap lingkungan.

Memperkuat Jaminan Mutu Hasil Perikanan

Pangan yang aman, sehat dan berkualitas telah menjadi tuntutan konsumen, utamanya di pasar internasional yang persyaratannya semakin ketat. ...